The problem of Regulations and Omnibus Law
05/11/2019 Views : 301
Jimmy Z. Usfunan
Sengkarut Regulasi dan Omnibus Law
Jimmy Z. Usfunan
(Opini ini dipublikasikan di harian nasional Suara Pembaruan 5/11/2019)
Masih lekat dalam ingatan publik janji Presiden Jokowi dalam debat Capres 2019 lalu yang memangkas ruwetnya peraturan perundang-undangan (regulasi) yang menganggu proses pengambilan kebijakan pemerrintah dengan membentuk pusat legislasi nasional. Namun, realitasnya saat pembentukan kabinet Indonesia Maju tak terealisasi dan mengubah janji dengan menggunakan undang-undang Omnibus (Omnibus Law) sebagai senjata, sesuai pidato pelantikan Presiden.
Undang-Undang Omnibus
Black’s Law Dictionary, mengartikan UU Omnibus dengan pemahaman “a single bill containing various distinct matters” (Black’s Law Dictionary, 2004:175). Pendekatan UU Omnibus telah dipraktekkan di beberapa negara seperti Amerika, Irlandia maupun Suriname. Akan tetapi, terdapat 3 fakta yang memunculkan kesulitan implementasi Omnibus Law di Indonesia, pertama, soal kelembagaan, proses pembentukan UU setiap negara memiliki perbedaan, misalnya di Amerika, penyusunan undang-undang dilakukan oleh kekuasaan legislative Congress (Senate dan House of Representatives), Presiden hanya melakukan veto jika tidak menyetujui suatu RUU. Sedangkan di Indonesia, penyusunan suatu RUU bisa dilakukan oleh DPR maupun Presiden. Sehingga pola UU Omnibus dikembalikan pada political will institusional, yang pada akhirnya sulit dijadikan tradisi secara konsisten.
Kedua, kharakter UU Omnibus, yang ditujukan pada perubahan desain politik hukum kebijakan negara dibatasi pada suatu tema, karena prinsipnya setiap obyek yang diatur dalam UU memiliki dasar filosofis, sosiologis dan yuridis yang berbeda. Menjadi berbahaya bila membentuk UU mengambil judul obyek yang begitu luas seperti Perijinan Berusaha, lalu memuat materi muatan mencakup belasan obyek menyangkut berbagai lintas usaha, seperti perijinan rumah sakit, ketenagalistrikan, pengairan, perkebunan, pendidikan tinggi, pangan, gas bumi, penyiaran, dan sebagainya. Padahal di Amerika sendiri, dikenal pula pembatasan obyek pengaturan suatu UU, seperti dalam Konstitusi Negara Bagian California, article 4 Section 9 menyatakan: A statute shall embrace but one subject, which shall be expressed in its title. If a statute embraces a subject not expressed in its title, only the part not expressed is void…..”
Ketiga, adanya hirarki peraturan perundang-undangan, berdampak pada masing-masing jenis regulasi memiliki batasan materi muatan. Untuk itu, tidak bisa suatu UU mengatur dari hal-hal umum sampai pada pengaturan yang sangat teknis. Keempat, keberlakuan asas preferensi hukum yang sudah lazim digunakan bila ada pertentangan norma, salah satunya asas lex spesialis derogate legi generalis (aturan khusus mengenyampingkan aturan yang umum). Pembentukan UU Omnibus menjadikan kharakternya sebagai UU yang bersifat umum, sehingga bila ada UU terpisah dan mengatur substansi yang sama, maka eksistensinya mengenyampingkan UU Omnibus. Ketiga deskripsi ini memberikan jastifikasi, bahwa Omnibus Law yang tanpa batasan obyek, bukan solusi yang efektif dalam menyelesaikan persoalan regulasi di Indonesia yang sangat kompleks.
Sengkarut Regulasi
Akar persoalan sengkarut regulasi di Indonesia, disebabkan dari; pertama, banyaknya jenis regulasi di Indonesia; kedua, setiap jenis perundang-undangan dibentuk oleh lembaga-lembaga yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda; ketiga, lemahnya harmonisasi terhadap beberapa jenis regulasi; keempat, adanya kewenangan lembaga yang saling beririsan; kelima, pemahaman institusi terhadap kewenangan dalam membentuk regulasi masih lemah.
Mendasarkan pada klasifikasi jenis peraturan perundang-undangan, ada UUD, undang-undang/Perppu, peraturan pemerintah (PP), Peraturan Presiden, peraturan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD 1945, maupun Menteri, Badan, Komisi, Lembaga Nonstruktural serta Perda provinsi, kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah. Pembedaan jenis regulasi berakibat pada beragamnya lembaga-lembaga pembentuk. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan 5 tahapan dalam pembentukan aturan, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Setidaknya ada 6 lembaga ditambah dengan jumlah Menteri, Badan, Komisi, Lembaga Nonstruktural yang membuat perencanaan regulasi sesuai kewenangannya.
Tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan, terdapat proses harmonisasi, yang dilakukan oleh Kementerian Hukum, dengan maksud mensinkronkan dengan nilai-nilai Pancasila UUD 1945, peraturan yang lebih tinggi, putusan pengadilan, serta mendukung kebijakan di bidang perkenomian seperti kemudahaan berusaha atau investasi, perijinan yang sederhana (tidak berbelit-belit). Akan tetapi UU P3 termasuk UU 15/2019 perubahan UU P3 tidak mengatur harmonisasi peraturan Kementerian/LPNK, LNS, Badan, Komisi. Sehingga, lembaga tersebut rentan menerbitkan regulasi yang melebihi kewenangannya dan tidak harmonis dengan aturan vertikal maupun sederajat. Ironisnya, pemerintah daerah dihadapkan dengan kebingungan memilih aturan yang hendak dijadikan rujukan.
Problematika regulasi di Indonesia, tidak akan pernah terjawab melalui Omnibus Law, melainkan menjalankan sistem yang telah dirancang dalam UU 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU 12/2011, dengan membangun sentralisasi kebijakan di bidang regulasi mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, harmonisasi RUU serta harmonisasi rancangan PP, rancangan Perpres dan Ranperda Provinsi, begitu juga pemantauan terhadap undang-undang. Kebijakan satu pintu ini dapat berjalan efektif, setelah Presiden menjalankan perintah UU 15/2019 untuk membentuk kementerian atau lembaga khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penulis Pengajar Hukum Tata Negara, Universitas Udayana, Bali