Kasus Irman Gusman dan DPD yang Melanggar Komitmen

04/10/2016 Views : 463

Jimmy Z. Usfunan

Kasus Irman Gusman dan DPD yang Melanggar Komitmen

(Opini ini dipublikasikan di detik.com tanggal 04/10/2016)

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sedang mengalami kedukaan yang mendalam. Pasalnya sang Ketua DPD Irman Gusman ditetapkan sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada tanggal (17/9) dini hari lalu.

Konsekuensinya Badan Kehormatan memberhentikan Irman Gusman dalam jabatannya sebagai ketua 19/9 lalu, berdasarkan Pasal 52 ayat (3) huruf c Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Tata Tertib (Tatib DPD). Ironisnya pemberhentian ini, tidak dilanjutkan dengan pengisian kekosongan jabatan ketua DPD. Padahal, Pasal 54 ayat (2) Tatib DPD, menentukan agar dijadwalkan sidang paripurna luar biasa dalam memilih ketua paling lama 3 (tiga) hari setelah pemberhentian ketua DPD. Fenomena ini mengundang perhatian publik untuk menagih komitmen DPD RI dalam melaksanakan aturan yang telah dibuatnya sendiri.

Hakikat Tata Tertib DPD

Dalam pemikiran Lawrence Friedman disampaikan bahwa 'a crucial functions of rules is guiding behavior' (Lawrence Friedman, 1975:45). Pemikiran ini menunjukkan bahwa aturan berfungsi sebagai penuntun perilaku seseorang. Dengan begitu pembentukan Tatib DPD dengan segala ketentuannya diarahkan dalam hal memandu perilaku anggota DPD termasuk pimpinan DPD untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Sehingga si pelanggar aturan, menunjukkan sikap yang tidak mau untuk dituntun perilakunya.

Secara hakiki keberadaan Tatib ini merupakan kehendak bersama semua anggota DPD untuk mengikatkan diri dalam standar moral yang ditetapkan. Meksipun, standardisasi yang ditetapkan oleh lembaga ini berstandar tinggi. Seperti, adanya pakta integritas yang ditandatangani oleh semua anggota termasuk pimpinan DPD, sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c, untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berimplikasi pada eksistensi Pasal 52 ayat (3) huruf c ketua dan/atau wakil ketua diberhentikan apabila berstatus tersangka dalam perkara pidana tanpa menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tatib ini menunjukkan adanya suatu komitmen yang sangat dipengaruhi oleh suasana kebatinan dari perjuangan untuk memperkuat kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan. Sehingga berani menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang harus menjauhi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Namun sayangnya, suasana itu perlahan-lahan mulai meredup seiringnya waktu. Di saat pelaksanaan Tatib DPD yang menjadi indikator bagi publik untuk tetap setia berjuang demi penguatan lembaga negara tersebut, mulai diabaikan.

Praperadilan

Diulur-ulurnya penggantian Ketua DPD ini, didasarkan pada alasan masih menunggu proses praperadilan. Padahal di Tatib sudah sangat jelas, bahwa penggantian ketua dilakukan 3 hari setelah diberhentikan.

Kondisi ini, mengindikasikan bahwa ada unsur kesengajaan untuk mempertahankan Irman Gusman yang saat ini berstatus tersangka. Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP, menentukan praperadilan yang dilakukan oleh pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Terlepas dari upaya pra peradilan yang sedang dilakukan oleh Irman Gusman saat ini, bukan berarti statusnya sebagai tersangka lenyap. Apalagi penangkapan yang dilakukan KPK terhadap Irman Gusman adalah tertangkap tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP dengan besertakan barang bukti yang ada.

Fenomena yang menunjukkan tindakan DPD yang masih mengulur waktu memilih pengganti Irman Gusman bertentangan dengan kepastian hukum serta inkonstitusional. Tentunya, hal ini juga akan menjadi preseden buruk bagi oknum-oknum lainnya menggunakan kekuatan politik untuk mempertahankan jabatannya ke depan. Semestinya panitia musyawarah tidak perlu takut untuk segera menjadwalkan sidang paripurna dengan agenda mengganti Irman Gusman tersebut sebagai pimpinan DPD.

Sebab kekosongan jabatan ketua akan berdampak pada terhambatnya tugas dan wewenang DPD secara kelembagaan serta pimpinan DPD itu sendiri sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi salah satu wewenang pimpinan adalah dalam menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD kedepan di momentum seperti sekarang ini. Karenanya penundaan pemilihan pengganti Irman Gusman adalah tindakan bertentangan peraturan perundang-undangan dan harus dihentikan.

Kocok Ulang Ketua DPD

Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) Tatib DPD maka pengganti Irman Gusman sebagai pimpinan DPD harus diisi oleh calon yang berasal dari keterwakilan wilayah yang sama. Calon pengganti tersebut harus mendaftarkan diri sebagai bakal calon pimpinan kemudian memperkenalkan diri serta menyatakan kesediannya menjadi Pimpinan DPD dan bersedia bekerja sama dengan Pimpinan DPD yang lain sebagaimana diatur Tatib DPD. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pemilihan, dan terhadap 1 bakal calon yang mendapatkan suara terbanyak itu ditetapkan menjadi pimpinan DPD.

Dari ketiga pimpinan DPD termasuk yang sebelumnya menjabat menjalankan mekanisme pemilihan ketua, dengan memberikan setiap anggota DPD hak untuk memilih salah satu pimpinan menjadi ketua. Ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) Tatib DPD ini menunjukkan bahwa

pemilihan Ketua DPD merupakan hak dari setiap anggota, sehingga tidak bisa di dapatkan dari mekanisme penggantian semata. Apabila didasarkan dengan penggantian, maka dari perspektif hukum administrasi negara, menunjukkan posisinya lebih lemah dari ketua DPD definitif yang dipilih oleh setiap anggota.

Dengan kata lain lebih mirip posisinya dengan pelaksana tugas (plt). Untuk itu kocok ulang ketua DPD merupakan upaya solutif guna mengembalikan marwah DPD dalam melaksanakan komitmen Tatib yang saat ini mulai diabaikan.

*)Dr Jimmy Z Usfunan SH MH

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Denpasar-Bali