Antara Gugatan Jas Mengerut Pak Dirjen HAM dan Etika Pejabat Negara
11/10/2016 Views : 196
Jimmy Z. Usfunan
Antara Gugatan Jas Mengerut Pak Dirjen HAM dan Etika Pejabat Negara
(Opini ini dipublikasikan di detik.com tanggal 11/10/2016)
Langkah Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi yang melayangkan gugatan kepada Fresh Laundry sebesar Rp 210 juta sebagai akibat jas yang
mengerut menunjukkan kenyataan ironis di negeri ini mengenai perlakuan pejabat kepada rakyatnya. Sontak, peristiwa ini mencoreng institusi yang memiliki simbol pengayoman tersebut.
Apalagi, pengayoman memiliki makna perbuatan yang melindungi. Namun, kenyataannya peristiwa ini menunjukkan tindakan yang merongrong kehidupan rakyat dan jauh dari sikap mengayomi itu.
Seorang pejabat yang memiliki kewenangan publik, juga melekat etika dalam dirinya. Sehingga perilakunya akan dievaluasi dari segi etika dan moral, yang melihat perbuatan itu layak atau tidak untuk dilakukan. Secara faktual, publik terkejut dan menyayangkan peristiwa semacam ini terjadi di era kepemimpinan Presiden yang mempersempit kesenjangan hubungan antara penguasa dan rakyatnya.
Tentunya, kasus ini menunjukkan adanya degradasi etika dan moral bagi pejabat saat ini yang lebih menunjukkan sikap superioritas dan arogansinya sebagai penguasa.
Etika Kehidupan Berbangsa
Pasal 3 Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyatakan:
Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan Ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.
Ketetapan MPR ini mengklasifikasikan yang termasuk etika politik dan pemerintahan, adalah tindakan setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, tidak arogan dan sebagainya.
Kasus gugatan kepada usaha laundry kiloan ini, menunjukkan eksistensi pejabat yang arogan dan tidak memiliki keteladanan sama sekali. Esensi perilaku arogan, akan menghasilkan tindakan sewenang-wenang. Dengan kata lain, mentang-mentang memiliki kekuasaan.
Kendati, melakukan gugatan adalah hak dari setiap orang, namun ketika tindakan itu didasarkan pada upaya mencari-cari kesalahan dan keuntungan maka penggunaan hak adalah tidak tepat karena sudah lepas dari etika. Mengingat hak merupakan suatu bentuk kebebasan dan bila penggunaan hak itu tanpa etika, maka akan berpotensi melanggar hak orang lain. Apalagi esensi dari gugatan adalah mencari keadilan.
Besarnya jumlah gugatan ini mengundang perhatian publik untuk mereka-reka latar belakang tindakan tersebut. Pasalnya, gugatan ini ditujukan untuk memberikan efek jera ataukah dengan maksud mencari keuntungan.
Apabila ditujukan pada efek jera, seharusnya gugatan tersebut tidak melebihi dari harga jas itu, namun ketika menggugat 21 kali lipat dari harga jas, maka publik menganggap perilaku ini dimaksudkan adalah mencari keuntungan atau sengaja mematikan usaha kecil tersebut.
Padahal dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa:
Ganti rugi atas kerusakan barang dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,....
Sehingga gugatan sebesar 21 kali lipat itu menunjukkan tindakan yang irasional yang dapat mematikan usaha kecil tersebut serta sebagai sikap yang menakut-nakuti rakyat.
Hak Asasi Manusia
Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), tindakan Dirjen HAM tersebut berpotensi melanggar Pasal 28A UUD 1945 yang berbunyi:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Bayangkan saja ketika modal usaha laundry kiloan yang tidak sampai 10 juta rupiah, digugat dengan Rp 210 juta, bila dikabulkan maka dapat dipastikan bahwa tergugat tidak akan dapat mempertahankan kehidupannya maupun keluarganya.
Seorang pejabat dalam jabatan sebagai Dirjen HAM, harusnya bertindak cermat terhadap hal ini. Dikarenakan perilakunya itu, berpotensi melanggar HAM yang dijamin secara konstitusional. Karenanya Menteri Hukum dan HAM harus memberikan sanksi yang tegas terhadap tindakan anak buahnya itu, bila perlu pemberhentian dari jabatan, sebagai akibat telah menunjukkan sikap arogansinya dan tidak beretika.
Dengan belum adanya tindakan tegas dari Menteri Hukum dan HAM, publik menganggap
adanya upaya perlindungan terhadap Dirjen HAM dan sikap permisif terhadap perilaku demikian. Apalagi kedepan, keberadaan pejabat tersebut akan mendapatkan ketidakpercayaan publik terhadap kinerjanya yang berpengaruh pada kinerja institusi. Sehingga diperlukannya sanksi tegas yang juga sebagai upaya preventif agar tindakan serupa tidak terjadi lagi kedepan. Serta menghilangkan kesan adanya pengurangan standar etika dan moral oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Presiden melalui kebijakan revolusi mental terhadap pejabat negara.
*)Dr Jimmy Z Usfunan SH MH
Penulis adalah pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Denpasar-Bali