Menyoal Remisi

08/02/2019 Views : 250

Jimmy Z. Usfunan

Menyoal Remisi

Jimmy Z. Usfunan

(Opini ini dipublikasikan di harian umum Suara Pembaruan 08/02/2019) 

Dari 115 Narapidana yang diberikan Remisi dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan Dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara. Ada 1 nama yang mengundang reaksi masyarakat, yaitu I Nyoman Susrama, otak pembunuhan berencana terhadap Jurnalis di Bali, 2009 silam. Pemberian remisi yang mengubah status dari pidana penjara seumur hidup, menjadi 20 tahun, dianggap oleh masyarakat telah mencederai rasa keadilan.

 

Remisi dan Diskresi

 

Pemberian Remisi ini dilakukan melalui Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2018 merupakan tindakan yang sudah terbiasa dilakukan sebelumnya, melalui pertimbangan Menteri Hukum dan HAM, yang sebelumnya diusulkan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Dirjen Pemasyarakatan. Pasal 9 ayat (1) Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, menentukan: “Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun”.

 

Gejala yang terjadi selama ini, adalah paradigma “remisi” dianggap sebagai hak narapidana secara otomatis yang harus dipenuhi oleh negara, dengan menutup pertimbangan-pertimbangan lain dalam pengambilan kebijakan remisi. Padahal, frasa “dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun”.” Seharusnya menekankan pada superioritas pemerintah untuk mengkaji pertimbangan-pertimbangan lain termasuk keadilan di masyarakat, kepentingan, kemanfaatan dan aspek lainnya. Kendati secara persyaratan telah dipenuhi oleh narapidana.

 

Kata “dapat” menekankan pada kebijakan diskresi (freies ermessen) atau kewenangan bebas dari pejabat berwenang. Secara teori, kata “dapat” menekankan pada Kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) yang berarti, bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. (N.M Spelt–J.B.J.M ten Berge, 1991).

 

Guna menjamin penggunaan diskresi dilakukan secara baik, maka Pasal 24 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah mengatur syarat yang harus dipenuhi dalam menggunakan dikresi, salah satunya Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). AUPB tersebut diantaranya asas kepastian hukum; kemanfaatan;ketidakberpihakan;kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik. 

 

Remisi terhadap I Nyoman Susrama, seharusnya mempertimbangkan; Pertama,  asas kepastian hukum yang juga menekankan pada aspek keadilan; Kedua, asas kemanfaatan berkaitan dengan keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat; Ketiga, asas kepentingan umum yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.

 

Akan tetapi keberadaan Keputusan Presiden No. 174/1999 yang tidak memberi ruang pengkajian lebih lanjut, dianggap telah mengunci prosedur pertimbangan-pertimbangan dan berakibat pada kebijakan remisi diberikan secara otomatis.

 

Memahami Kelemahan Keppres 174/1999

 

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengartikan remisi sebagai pengurangan masa pidana. Pemahaman yang sama juga digunakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU 12/1995, seperti PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP 28/2006 sebagai perubahan PP 32/1999 dan PP 99/2012 perubahan kedua PP 32/1999.

 

Keppres 174/1999, tidak hanya menekankan pada remisi sebagai pengurangan masa pidana, melainkan dalam Pasal 9 Keppres 174/1999 mengarah pada perubahan status dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara. Padahal, perubahan status pidana semacam ini merupakan kategori grasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dengan mengartikan, grasi sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

 

Sedangkan, Pasal 11 ayat (1) UU 22/2002, pemberian grasi oleh Presiden setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Berbeda halnya perubahan status hukuman dalam Keppres 174/1999 yang tidak memberikan ruang pertimbangan dari kekuasaan lain, untuk memberikan pertimbangan. Namun hanya dilakukan oleh kekuasaan eksekutif semata.

 

Kompleksitas Permasalahan Lapas

 

Persoalan pengelolaan Lapas yang dihadapkan dengan kondisi “over capacity” Narapidana (Napi) di dalamnya. Berakibat pada suatu paradigma dan tradisi, bahwa remisi sebagai hak yang harus dipenuhi oleh negara secara otomatis, ketika syarat Napi terpenuhi. Termasuk perubahan status hukuman penjara seumur hidup menjadi pidana sementara dalam Keppres 174/1999. Dengan begitu, remisi sebagai bentuk kebijakan pengurangan jumlah Napi dilakukan secara legal dan sesuai dengan prosedur. Hal ini berimplikasi pada penjaringan syarat remisi, yang hanya melihat pada aspek prosedural semata, tanpa kajian terhadap aspek-aspek lainnya yang penting keberadaannya.

 

Penataan regulasi terkait pemasyarakatan, yang dimulai dengan revisi Keppres 174/199, diharapkan: Pertama, menghilangkan ketentuan yang mengatur perubahan status hukuman dari seumur hidup menjadi pidana sementara. Kedua, mengatur indikator pertimbangan  dari Menteri Hukum dan HAM dalam mengambil kebijakan remisi yang tidak hanya difokuskan pada syarat yang dipenuhi oleh Napi. Ketiga, memasukkan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sebagai pendekatan dalam mengambil kebijakan remisi.

 

Revisi Keppres 29/2018

 

Meskipun kelemahan Keppres 174/1999 berujung pada munculnya aksi protes dari sejumlah kelompok masyarakat, karena melahirkan Keppres 29/2018. Namun bukan berarti, suara-suara kelompok masyarakat dalam memprotes kebijakan remisi terhadap I Nyoman Susrama, tidak dapat diakomodir. Mengingat karakter dalam Keppres 29/2018 sebagai beschicking (KTUN), maka keberatan dari kelompok masyarakat dapat dijadikan pertimbangan oleh Presiden dalam mengevaluasi  Keppres 29/2018 dengan pertimbangan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan kepentingan umum (Asas Umum Pemerintahan Yang Baik).

 

Semoga kejadian seperti I Nyoman Susrama ini memberikan kesadaran bagi kita semua, untuk menutup celah-celah terhadap peluang kasus yang sama dikemudian hari, dengan melakukan penataan regulasi.  


Penulis, Pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana