Measuring LGBT Constitutional Rights
30/08/2016 Views : 477
Jimmy Z. Usfunan
MENAKAR HAK KONSTITUSIONAL LGBT
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
(Opini di detik.com tanggal 30/08/2016)
Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini, sedang dihadapkan dengan pengujian Pasal 292 KUHP berkenaan ketentuan pencabulan anak dibawah umur, agar ditekankan juga pada aktivitas seksual kaum LGBT sebagai bagian dari tindak pidana. Sontak hal ini menjadi trending topik, yang membuka kembali kotak pandora dalam memulai mendebatkan eksistensi dan hak konstitusional LGBT.
Dengan mendasarkan pada pendekatan komparasi, memunculkan jastifikasi bahwa tidak ada dikotomi antara hak konstitusional LGBT dengan masyarakat umumnya. Tentunya hal ini, berimplikasi pada sikap reaktif publik dalam memahami kembali hak konstitusional yang sesungguhnya.
Karakter HAM
UUD NRI 1945, telah mengatur secara komprehensif mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), yang memberikan pengakuan terhadap HAM Sipil. Rumusan yang digunakan dalam UUD, menggunakan pada kata “setiap orang” mengartikan pada seluruh manusia. Dengan begitu, setiap manusia memiliki HAM yang melekat dalam dirinya, yang dijamin oleh negara. Ketika HAM itu diatur dalam UUD, menjadikannya sebagai hak konstitusional.
Konstitusi (UUD) membedakan karakter HAM menjadi 2, yakni bersifat non derogable rights dan derogable rights. Dengan kata lain HAM Absolut (yang tidak dapat dikurangi) dan HAM relatif (yang dapat dibatasi). Penentuan karakter inilah, yang memunculkan keberadaan Pasal 28I ayat (1) yang mengidentifikasi hak-hak absolut dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Pembatasan HAM yang dilakukan melalui Pasal 28J ayat (2), mendasarkan pada undang-undang dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Atas dasar itu, hak konstitusional Pasal 28B ayat (1), yang menentukan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dikecualikan terhadap kaum LGBT. Mengingat penentuan “perkawinan yang sah” saat ini mendasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang hanya menekankan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita.
Merubah UU Perkawinan
Merubah UU Perkawinan, saat ini menjadi perjuangan menarik, bagi kaum LGBT untuk mengakomodir perkawinan sejenis. Menjadi pertanyaan menarik, apakah hal itu mungkin terjadi?
Kiranya penulis perlu mengajak para pembaca untuk merefleksikan pemikiran Thomas Aquinas, seorang filsuf yang membagi 4 golongan hukum, yaitu lex aeterna (rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia), lex divina (rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh indra manusia), lex naturalis (hukum alam) dan lex positiva (hukum positif). Keempat golongan hukum ini merupakan hirarki dan penentuan isi hukum itu didasarkan dari jenis yang lebih tinggi.
Posisi HAM ada di stratifikasi ketiga (lex naturalis) yang sangat ditentukan eksistensinya oleh lex divina atau Kitab-Kitab suci agama. Lex divina, juga mengandung nilai-nilai moral. Dengan demikian, tidak tepat ketika perkawinan sejenis, dianggap sebagai HAM, karena tidak ada satupun agama, yang mengesahkan perkawinan semacam itu. Pemikiran Thomas Aquinas ini, memberikan makna bahwa HAM itu diturunkan dari nilai-nilai Agama dan Moral suatu bangsa, bukan diciptakan oleh suatu entitas sosial.
Pandangan filsuf ini, memiliki hubungan erat dengan keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi, UU yang dibentuk selalu menggunakan frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” dalam bagian Pembukaan. Hal ini tentunya, mengingatkan, esensi UU yang harus selalu dijiwai oleh sila I.
Eksistensi Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, tiada lain memberikan batasan bagi masyarakat dalam menafsirkan HAM itu sesungguhnya. Dikarenakan penafsiran itu akan meluas, maka pembentuk UUD harus membuat suatu ketentuan dalam membatasi interpretasi melalui pembentuk UU. Dengan demikian, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, memberikan keleluasaan kepada pembentuk UU, untuk memahami kondisi moral yang ada di dalam masyarakat. Mengingat, hakekat UU sebagai volunte generale (kehendak umum), maka mengandung kesepakatan umum atau konsensus nasional dalam memaknai nilai moral yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
*Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana