Kejang pada Neonatus
20/06/2023 Views : 222
I Made Karma Setiyawan
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang pada neonatus merupakan penyakit yang sangat serius dan mengancam nyawa, dimana hal ini merupakan pertanda adanya kerusakan atau penyakit yang signifikan pada sistem saraf pusat (Hill, 2000). Kasus ini diperkirakan terjadi hingga 0,8-1,2 kasus per 1000 neonatus per tahun di negara maju (Putri et al, 2011). Pada bayi cukup bulan angka kasus ini meningkat hingga 3 kasus per 1000 kelahiran hidup bayi cukup bulan atau sebesar 1,4%, sednagkan pada bayi lahir kurang bulan meningkat cukup drastis hingga 60 kasus per 1000 kelahiran hidup bayi kurang bulan atau sebesar 20% (Putri et al, 2011). Selain insiden yang cukup tinggi, angka mortalitas juga cukup tinggi hingga 15% pada bayi cukup bulan dengan kemungkinan terjadinya kecacatan berupa retardasi mental, palsi serebral, dan epilepsi hinga mencapai 2/3 kasus (Wittick, 2010).
Pasien neonatus yang mengalami kejang, sangat jarang sekali diakibatkan secara idiopatik, melainkan lebih diakibatkan oleh penyakit lainnya seperti HIE (Hypoxic-Ischemic-Encepalopathy) yang mencapai 30-50% kasus (Putri et al, 2011). Kejang pada neonatus pun cukup berbeda dengan kejang yang terjadi pada jenjang usia lainnya, dimana sangat jarang bersifat kejang umum, akibat imaturitas kortikal sistem saraf pusat dan myelinisasi yang belum adekuat pada koneksi hemisferik (Hill, 2000; Wittick, 2010).
Tatalaksana kejang pada neonatus hampir sama dengan kejang lainnya, dimana langkah awal menangani kegawatdaruratan vital pada pasien, yaitu menjaga oksigenasi yang baik dan dukungan kardiovaskular (Hill, 2000; Wittick, 2010; Putri et al, 2011). Menurut Slaughter et al, 2013 fenobarbital masih merupakan pilihan lini pertama dalam tatalaksana simptomatis kejang, disusul penggunaan fenitoin dan benzodiazepine. Urutan pemilihan modalitas antikejang ini didasarkan atas level dan ketersedian bukti ilmiah yang paling baik serta kekurangan dan kelebihan dari terapi farmakologis ini masing-masing (Slaughter et al, 2013). Pemberian obat ini untuk menterminasi kejang pada neonatus masih memiliki efek yang agak kurang memuaskan (Wittick, 2010). Seperti contoh fenobarbital sebagai terapi lini pertama hanya mampu menterminasi kejang sebanyak sepertiga hingga setengah dari keseluruhan kasus kejang pada neonatus, sehingga perlu penambahan terapi lini berikutnya (Wittick, 2010). Kurang memuaskannya angka keberhasilan terapi antikejang, tidak terlepas dari patofisiologi kejang pada neonatus itu sendiri, yaitu imaturitas perkembangan neurotransmitter eksitasi dan inhibisi sehingga target mekanisme kerja antikejang konvensional tidak optimal (Glass, 2014). Karena kejang pada neonatus merupakan manifestasi dari penyakit lainnya, identifikasi dan penanganan kausal segera adalah penanganan yang utama dan akan memberikan prognosis yang lebih baik (Putri et al, 2011; Glass, 2014).
Karakteristik kejang pada neonatus yang unik dan penanganan farmakologis yang masih agak kurang memuaskan serta angka kematian dan kecacatan yang terbilang cukup tinggi, membuat para dokter wajib mengetahui tatalaksana yang tepat untuk mencegah peningkatan angka mortalitas dan kecacatan akibat kejang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang pada neonatus
Menurut Hill, 2000 kejang secara umum merupakan pelepasan muatan listrik atau depolarisasi sel neuron otak yang sinkron dan berlebih. Jika merujuk terhadap kejang pada neonatus, definisi ini kurang tepat dan tidak menggambarkan kejang pada neonatus (Hill, 2000). Secara definisi kejang pada neonatus lebih tepat dikatakan sebagai adanya perubahan paroksismal fungsi neurologis neonatus yang dapat merujuk terhadap prilaku, fungsi motorik, dan fungsi otonom (Hill, 2000; Putri et al, 2011).
Kejang pada neonatus sangatlah berbeda dengan kejang pada bayi lebih tua, anak-anak, maupun dewasa. Menurut Wittick, 2010 perbedaan pertama adalah dari segi etiologi, dimana kejang pada neonatus sangat jarang sekali bersifat idiopatik dan lebih sering merupakan manifestasi dari penyakit neurologis yang signifikan. HIE adalah penyebab tersering, mencapai 30-50% kasus, disusul oleh perdarahan intrakranial 10-17%, hipoglikemia 6-10%, hipokalsemia 6-15%, infeksi intrakranial 5-14%, infark serebral 7%, inborn errors of metabolism 3%, dan malformasi sistem saraf pusat 5% (Putri et al, 2011). Secara klinis, kejang pada neonatus sangat jarang bersifat kejang umum (Wittick, 2010; Mikati dan Hani, 2016). Implikasi klinis ini disebabkan oleh keadaan imaturitas organisasi korteks serebral dan myelinisasi axon interhemisferik yang belum lengkap (Olson, 2012). Gejala klinis yang muncul akan memperlihatkan adanya gerakan oral-bukal-lingual, ganguan okulomotor, dan disfungsi otonom (Hill, 2000).
Berdasarkan pemaparan Mikati dan Hani, 2016 bahwa menegakkan diagnosis kejang pada neonatus dapat hanya dari data riwayat prenatal dan postnatal serta pemeriksaan fisik yang akurat. Pada beberapa kasus EEG (Electroencephalography) diperlukan sebagai alat untuk mendiagnosis, dimana dapat menunjukkan adanya aktivitas paroksismal seperti gelombang tajam diantara kejang dan aktivitas kejang elektrografis (Mikati dan Hani, 2016). Kejang pada neonatus juga dapat tidak menunjukkan aktivitas yang signifikan pada EEG, dimana hal ini disebabkan oleh “release phenomena” atau depolarisasi yang terlalu dalam sehingga tidak mencapai alat EEG pada SCALP (Skin, Connective Tissue, Aponeurotica, Loose Connective Tissue, Pericranium) (Olson, 2012; Mikati dan Hani, 2016). Sebaliknya dapat hanya terjadi kejang elektrografis atau disebut disosiasi elektroklinis tanpa adanya gejala klinis atau hanya manifestasi motorik yang minimal, akibat imaturitas hubungan kortikal (Mikati dan Hani, 2016).
2.2 Tatalaksana kejang pada neonatus
Manajemen kejang pada neonatus bersifat komprehensif, tidak hanya mengacu pada penanganan kejang saja, akan tetapi termasuk penyebab kejang tersebut (Wittick, 2010; Putri et al, 2011).
2.2.1 Modalitas terapi farmakologis
2.2.1.1 Fenobarbital
Hingga saat ini, protokol terapi yang ada untuk talaksana kejang pada neonatus masih menganjurkan fenobarbital sebagai lini pertama (Putri et al, 2011; Slaughter et al, 2013). Hal ini didasarkan atas adanya studi yang adekuat terhadap efektivitas fenobarbital yang cukup baik sebagai terapi lini pertama, memiliki studi yang adekuat terhadap hewan percobaan, penyerapan sediaan oral yang baik oleh neonatus, dan pengalaman riwayat penggunaan obat ini yang cukup luas dan lama terhadap neonatus oleh para klinisi (Olson, 2012; Glass, 2014).
Keseluruhan kasus kejang pada neonatus dengan terapi lini pertama fenobarbital hanya sepertiga hingga setengahnya saja yang memiliki respon terapi yang cukup baik, dan jika memiliki respon yang baik terhadap fenobarbital maka pada neonatus tersebut memiliki kecenderungan prognosis yang baik (Wittick, 2010). Efektivitas fenobarbital yang dapat dikatakan masih belum sangat memuaskan, diakibatkan oleh maturasi neurotransmitter inhibisi yaitu GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) yang kurang memadai dan lambat dibandingkan neurotransmitter eksitasi yaitu glutamate pada neonatus, sedangkan fenobarbital memiliki target mekanisme kerja pada neurotransmiter GABA (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Selain maturasi yang lebih lambat, keadaan konsentrasi klorida intraseluler yang lebih tinggi di seluruh sel neuron neonatus menyebabkan sistem GABA dapat bersifat sebagai sistem eksitasi, sehingga respon terapi fenobarbital masih kurang memuaskan (Olson, 2012; Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015).
Sebagai lini pertama, fenobarbital diberikan secara dosis loading intravena 20 mg/kg dengan kecepatan 1-2 mg/menit (Mikati dan Hani, 2016). Jika saat terapi inisiasi masih belum terpasang akses vena, dapat diberikan secara intramuskular dimana dosis dinaikkan hingga 10-15% (Putri et al, 2011). Neonatus kemudian diobservasi selama tiga puluh menit, jika kejang berulang dapat diberikan kembali fenobarbital dengan dosis 10 mg/kg sebanyak dua kali (total dosis maksimal 40 mg/kg) dengan selang waktu 30 menit, atau mencapai rentangan dosis terapi 20-40 mg/L (Putri et al, 2011; Mikati dan Hani, 2016). Jika terapi inisiasi berhasil, maka diperlukan dosis rumatan yaitu 3-5 mg/kg/hari dosis tunggal atau terbagi dua dosis setiap 12 jam, dapat diberikan secara intravena maupun oral (Hill, 2000; Wittick, 2010; Putri et al, 2011; Mikati dan Hani, 2016).
Setelah pemberian fenobarbital, pemantauan ketat terhadap sistem respirasi dan kardiovaskular sangat diperlukan, karena fenobarbital memiliki efek samping berupa hipotensi dan memicu apneu (Wittick, 2010). Pemantauan lebih ketat juga perlu dilakukan pada kasus-kasus neonatus dengan gangguan liver dan ginjal, karena akan ada kecenderungan peningkatan toksisitas fenobarbital (Olson, 2012). Hal ini dikarenakan fenobarbital di metabolism pada liver dan diekskresikan melalui ginjal (Olson, 2012; Mikati dan Hani, 2016).
Pemberian fenobarbital dan anti kejang konvensional lainnya seperti fenitoin, lorazepam, karbamazepin, ketamin, dan lainnya, akan memicu neurogeneratif yang dibuktikan pada studi hewan percobaan (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Mekanisme yang mungkin terjadi adalah akibat kematian sel neuron akibat apoptosis, sedangkan efek neurotoksik yang menyebabkan apoptosis akibat kejang itu sendiri lebih minimal dibandingkan kasus anak dan dewasa (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015).
2.2.1.2 Fenitoin dan Fosfenitoin
Pada dasarnya fenitoin memiliki efektivitas yang hampir sama sebagai terapi lini pertama jika dibandingkan dengan fenobarbital, yaitu 45% kasus kejang pada neonatus memiliki respon positif terhadap obat ini (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Namun fenitoin masih kalah superior untuk dijadikan terapi lini pertama karena beberapa pertimbangan yaitu salah satunya adalah kesulitan yang cukup berarti dalam memantau pemberian fenitoin pada populasi neonatus (Olson, 2012; Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Hal ini diakibatkan oleh fenitoin memiliki ikatan yang cukup kuat terhadap protein plasma yaitu albumin sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dengan obat lainnya, ikatan kompetitif terhadap bilirubin, kortikosteroid endogenous, asam lemak bebas, dan waktu paruh yang memanjang akibat maturasi inkomplit enzim CYP2C9 (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Pertimbangan lainnya adalah pelarut fenitoin yaitu glikol propilen memiliki efek hipotensi dan aritmia jantung (Wittick, 2010). Pelarut fenitoin juga memiliki efek sangat iritatif yang dapat menyebabkan iritasi pada jaringan lunak sehingga tidak dianjurkan diberikan secara intramuscular (Wittick, 2010; Olson, 2012). Fenitoin juga memiliki kelemahan lain yaitu klinisi sering kusulitan dalam melakukan transisi dari intravena ke oral karena akan kesulitan mempertahankan kadar serum terapeutiknya (Olson, 2012). Dibandingkan dengan fenitoin, fosfenitoin memiliki keamanan yang lebih baik dan terlarut baik dalam air sehingga dapat diberikan secara intramuskuler tanpa menimbulkan iritasi jaringan (Mikati dan Hani, 2016)
Jika terapi lini pertama dengan fenobarbital gagal maka selanjutnya diberikan fenitoin sebagai lini kedua dengan dosis 20 mg/kg intravena dalam larutan garam fisiologis dnegan kecepatan 1 mg/kg/menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan jika kejang tidak berulang, dengan dosis 4-8 mg/kg secara intravena atau peroral (Putri et al, 2011).
2.2.1.3 Benzodiazepin
Modalitas benzodiazepin yang dipergunakan sampai saat ini adalah lorazepam, midazolam, dan diazepam, akan tetapi kekurangan data uji klinis membuat obat-obatan ini belum dapat menggeser posisi fenobarbital sebagai lini pertama walaupun terbilang cukup efektif (Olson, 2012; Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Efektivitas benzodiazepin juga masih kurang maksimal, dimana hal ini dikarenakan efek kerjanya pada sistem GABA berkurang oleh ekspresi berlebih α4 dibandingkan α1 pada GABA neonatus yang imatur (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Walaupun ada studi yang menyebutkan bahwa benzodiazepin seperti midazolam lebih efektif dibandingkan fenobarbital, efek potensi depresi nafas yang cukup serius membuat obat ini masih menjadi pilihan lini kedua atau ketiga, terutama pada kasus yang sudah terintubasi (Slaughter et al, 2013). Dari ketiga obat golongan ini, lorazepam merupakan pilihan yang lebih baik, dikarenakan obat ini terdistribusi dan menampakkan efeknya cukup cepat di dalam otak yaitu kurang dari lima menit dan mampu bertahan hinga 6-24 jam. Lorazepam dapat bertahan lama karena sifatnya yang tidak terlalu lipofilik sehingga tidak cepat tersisihkan dari otak otak (Mikati dan Hani, 2016). Berbeda halnya dengan midazolam dan diazepam yang memiliki efek sangat lipofilik, sehingga efeknya lebih cepat dibandingkan lorazepam namun tersisihkan lebih cepat juga dari otak (Mikati dan Hani, 2016)
Bila kejang masih berlanjut, benzodiazepin dapat diberikan sebagai terapi lini ketiga (Wittick, 2010). Lorazepam diberikan dengan dosis 0,05 – 0,1 mg/kg setiap 8-12 jam, sedangkan midazolam dapat diberikan secara bolus intravena 0,2 mg/kg dilanjutkan dengan dosis titrasi 0,1-0,4 mg/kg/jam intravena (Putri et al, 2011). Diazepam diberikan 0,1-0,3 mg/kg intravena dalam waktu 3-5 menit diberikan setiap 15-30 menit hingga dosis maksimal 2 mg (Mikati dan Hani, 2016)
Benzodiazepin memiliki resiko kecenderungan pasien terserang apneu dan hipotensi, sehingga pasca pemberian benzodiazepin perlu pemantauan ketat, terlebih lagi jika juga mendapatkan terapi barbiturate, pemantauan hingga 3-8 jam (Putri et al, 2011)
2.2.1.4 Levetiracetam
Seperti pemaparan oleh Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015 bahwa levetiractam memiliki cara kerja menghambat pelepasan neurotransmitter dan transportasi vesikel dalam neuron dengan mengikat protein vesikel sinaptik SV2a. Protein ini tersebar di seluruh neuron otak, sehingga efek terapeutik yang diberikan cukup menjanjikan jika dibandingkan dengan mekanisme kerja obat antikejang konvensional lainnya (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015).
Walaupun nampak menjanjikan, levetiracetam masih belum mampu menggeser peranan fenobarbital sebagai terapi lini pertama, dikarenakan studi yang masih kurang adekuat untuk mendukung levetiracetam sebagai terapi lini pertama (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015). Studi yang ada hingga saat ini masih menunjukkan tingginya efektivitas levetiracetam yang dikombinasikan dengan fenobarbital, sehingga masih belum mendukung sebagai monoterapi akan tetapi dianjurkan sebagai terapi lini kedua (Slaughter et al, 2013; Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015).
Dosis yang dianjurkan berdasarkan studi terbaik saat ini adalah loading dosis 40-50 mg/kg bolus intravena, dilanjutkan dengan dosis rumatan 25 mg/kg/kali setiap 12 jam intravena (Slaughter et al, 2013; Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015).
2.2.1.5 Bumetanid
Salah satu patofisiologi yang berbeda pada neonatus dibandingkan jenjang usia lainnya adalah adanya ekspresi berlebih dari importer NKCC1 (sodium-potassium-chloride Cl-) yang menyebabkan kadar klorida berlebih intraseluler pada sel neuron, sehingga peranan inhibisi GABA dapat berubah menjadi eksitasi (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015; Mikati dan Hani, 2016). Obat-obatan yang bekerja dengan cara menghambat importer NKCC1 dapat mengurangi kadar intraseluler klorida seperti bumetanid, sehingga dapat meningkatkan efektivitas inhibisi dari GABA (Cross, 2009). Dikutip dari Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015 bahwasannya penambahan bumetanid sebagai terapi tambahan pada pasien kejang neonatus dengan terapi utama fenobarbital, dapat menurunkan frekuensi dan durasi kejang. Penggunaan bumetanide ini masih terbatas, dikarenakan oleh efek ototoksisitasnya yang cukup serius dan bioavailabilitasnya yang kurang maksimal pada sistem saraf pusat (Mruk, Garlitz, dan Leung, 2015).
2.2.2 Tatalaksana kausal spesifik
Menurut Fenichel, 2007 bahwa hipoglikemia merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya kejang pada neonatus, akan tetapi jarang sekali merupakan penyebab tunggal. Hipoglikemia pada neonatus dan memerlukan intervensi didefinisikan dengan neonatus memiliki kadar glukosa darah <40 mg/dL disertai gejala klinis, atau dengan kadar glukosa darah <30 mg/dL tanpa disertai gejala klinis (Carlo, 2016). Keadaan hipoglikemia pada neonatus harus segera ditangani untuk mencegah adanya kerusakan otak yang permanen, terlebih lagi jika disertai kejang (Fenichel, 2007; Carlo, 2016).
Tatalaksana awal hipoglikemia adalah pemberian makan secara oral baik dengan ASI maupun susu formula jika tidak ada kontraindikasi (Carlo, 2016). Pada pasien neonatus dengan keluhan kejang, keadaan hipoglikemia sebaiknya dikoreksi secara intravena untuk mencegah kerusakan otak lanjutan dan mencegah kejang berulang (Hill, 2000). Pemberian intravena diberikan dengan dosis 200 mg/kg dekstrosa atau setara dengan 2 mL/kg larutan dekstrosa 10%, kemudian dilanjutkan dengan pemberian asupan glukosa (ASI atau susu formula) secara oral jika toleransi baik, namun jika toleransi oral buruk dapat diberikan dekstrosa rumatan secara infus intravena dengan kecepatan 4-8 mg/kg/menit (Hill, 2000; Carlo, 2016).
Keadaan hipokalsemia ditandai dengan adanya kadar serum kalsium kurang dari 1,5 mmol/L (Sinha, Miall, dan Jardine, 2012). Pada pasien kejang neonatus dengan keadaan hipokalsemia dapat diberikan koreksi secara intravena dengan pemberian larutan kalsium glukonas 10% dengan dosis 5-10 mL atau 1-3 mg/kgBB pada kecepatan 0,5-1,0 mL/menit (Doyle, 2016). Pada pemberian kalsium glukonas perlu dilakukan pemantauan laju denyut jantung dan pemberian kalsium elemental tidak melebihi 20 mg/kg (Doyle, 2016). Setelah pemberian kalsium glukonas, perlu diberikan terapi tambahan berupa 1,25-dihydroxycholecalciferol (kalsitrol) dengan dosis permulaan 0,25 µg/24 jam, kemudian diberikan dosis rumatan 0,01-0,1 µg/kg/24 jam hingga maksimum dosis 1-2 µg/kg/24 jam. Kalsitrol diberikan dalam dua dosis terbagi karena waktu paruh yang pendek (Doyle, 2016).
Hipomagnesium merupakan salah satu gangguan metabolik yang dapat bermanifestasi menjadi kejang pada pasien neonatus dan biasanya disertai dengan hipokalsemia (Carlo, 2016). Hipomagnesium dengan gejala klinis biasanya muncul dengan kadar magnesium plasma di bawah 1,2 mg/dL, akan tetapi kadar magnesium plasma di bawah 1,5 mg/dL (0,62 mmol/L) sudah dapat dikatakan sebagai keadaan hipomagnesium (Carlo, 2016). Pasien kejang pada neonatus dengan penyebab hipomagnesium harus segera dikoreksi dengan pemberian magnesium sulfat 25-50 mg/kg/kali setiap 8 jam secara intramuskular (Hill, 2000; Carlo, 2016). Keadaan hipomagnesium biasanya akan membaik cukup dengan pemberian 3-4 dosis (Hill, 2000; Carlo, 2016).
Menurut Sinha, Miall, dan Jardine, 2012 kejang pada neonatus yang resisten terhadap terapi standar dan muncul sangat awal pada kehidupan pertama neonatus, perlu dicurigai adanya kelainan defisiensi piridoksin atau kelainan dependensi piridoksin. Keadaan defisiensi piridoksin dapat ditegakkan dengan pemeriksaan asam pipekolat (pipecolic acid) pada urin maupun serum, peningkatan serum asam alfa-aminoadipik semialdehid, dan penurunan kadar pyridoxal-5-phosphate pada cairan serebrospinal (Sinha, Miall, dan Jardine, 2012; Carlo, 2016). Jika penyebab kejang pada neonatus dicurigai mengarah pada keadan defisiensi piridoksin maka dapat diberikan terapi injeksi piridoksin intravena dengan dosis 100 – 200 mg selama pemeriksaan EEG (Mikati dan Hani, 2016). Jika terjadi respon pengobatan negatif dan akan tetapi kecurigaan masih sangat kuat mengarah pada gangguan ini, perlu dilakukan uji coba 6 minggu dengan pemberian piridoksin oral 100-200 mg/hari atau fosfat piridoksal disertai juga dengan pemeriksaan laboratorium di atas (Mikati dan Hani, 2016). Jika keadaan ini sudah ditegakkan dengan pasti, pemberian piridoksin 100 mg/hari dengan asam folat atau fosfat piridoksal 15-60 mg/kg/hari seumur hidup sangat diperlukan (Hill, 2000; Mikati dan Hani, 2016).
Sebanyak dua per tiga kasus kejang pada neonatus diakibatkan oleh HIE derajat sedang hingga berat yang diawali oleh adanya asfiksia perinatal (Hill, 2000; Wittick, 2010). Terapi HIE berupa hipotermia terkontrol sangat dianjurkan pada neonatus cukup bulan atau hampir cukup bulan, karena dapat menurunkan angka mortalitas dan kerusakan perkembangan neuron. Seperti yang dipaparkan oleh Ambalavanan dan Carlo, 2016 bahwa terapi hipotermia terkontrol dapat dilakukan dengan metode isolated cerebral cooling atau systemic induced servo controlled hypothermia dengan suhu tubuh target diukur secara rektal yaitu mencapai 33,5oC pada 1-6 jam pertama kehidupan neonatus. Terapi suportif untuk menjaga adekuasi ventilasi dan oksigenasi sangat diperlukan, termasuk tekanan darah, status hemodinamik, keseimbangan asam-basa, dan infeksi (Ambalavanan dan Carlo, 2016).
Infeksi intrakranial atau sepsis merupakan salah satu penyebab tersering kejang pada neonatus dengan persentasi 5-10% dari keseluruhan kasus (Wittick, 2010). Penyebab etiologi ini sangat beragam, dapat diakibatkan oleh infeksi bakteri pada akhir minggu pertama kehidupan maupun penyebab TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex) non bakteri (Sinha, Miall, dan Jardine, 2012). Terapi penyebab infeksi disesuaikan dengan etiologi yang didapatkan (Wittick, 2010).
Penyebab spesifik lainnya adalah bisa diakibatkan oleh keadaan putus obat atau sering disebut sindroma abstinen neonatal akibat penyalahgunaan obat saat hamil oleh sang ibu seperti penyalahgunaan opium (Hill, 2000). Menurut Sinha, Miall, dan Jardine, 2012 keadaan ini dapat diterapi secara konservatif dengan tingkat keberhasilan kurang lebih 30% dari keseluruhan kasus. Metode konservatif yang dapat dilakukan adalah dengan cara membendung, pemberian nutrisi oral secara rutin dan mengurangi stimulasi sensoris (Sinha, Miall, dan Jardine, 2012). Jika terapi konservatif gagal atau gejala putus obat cukup berat berikan terapi opiat oral seperti morfin sirup dan disertai pemberian terapi simptomatis kejang seperti fenobarbital (Sinha, Miall, dan Jardine, 2012).
Keadaan spesifik penyebab kejang pada neonatus adalah adanya sindroma kejang neonatus seperti benign idiopathic neonatal seizure (fifth day fit), metabolisme inborn error, perdarahan intrakranial, dan malformasi perkembangan otak (Hill, 2000; Fenichel, 2007; Mikati dan Hani, 2016). Penyebab-penyebab tersebut sebagian hanya dilakukan terapi konservatif dan sebagian lagi dilakukan tatalaksana sesuai penyebabnya (Mikati dan Hani, 2016).