Terapi Stem Cell pada Anak dengan Epilepsi

20/06/2023 Views : 90

I Made Karma Setiyawan

Pendahuluan

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum (Goodarzil, 2013).

            Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan. Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun (Chandanala, 2014).

 

Pengobatan Epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.

Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsy dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada beberapa terapi epilepsi, yaitu (Yasuhara, 2013) :

 

1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.

 

2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.  Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi.

 

3). Terapi Nutrisi

Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang.


4). Terapi Sel Punca

Obat anti-epilepsi yang tersedia saat ini (AED) hanya memberikan pengobatan secara simtomatik dan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Selain itu, persentase yang signifikan (30%) pasien dengan TLE tidak berespon terhadap obat anti epilepsi.  Pengobatan epilepsi yang umum adalah dengan mencegah terjadinya kejang, dan tidak ada terapi yang benar-benar efektif dalam mencegah epileptogenesis. Neuropeptida Y (NPY) adalah agen antikonvulsan yang ada di otak manusia yang sehat. Jumlah neuropeptida Y (NPY) yang ditemukan pada pasien epilepsi berjumlah sangat sedikit. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Society Epilepsi, ditemukan bahwa NPY berhubungan dengan pengaturan listrik di otak (Kisk, 2011).

            Selain efek menguntungkan dari berbagai perawatan untuk epilepsi,obat anti epilepsi memiliki beberapa keterbatasan. Misalnya pada penggunaan antiepileptik jangka panjang, obat-obatan dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Pada pasien dengan epilepsi yang tidak berespon terhadap obat anti epilepsi, reseksi bedah pada lobus temporal dapat direkomendasikan. Namun, prosedur tersebut  dapat menyebabkan gangguan perilaku dan psikologis. Hal ini mengakibatkan diperlukan  strategi terapeutik alternatif untuk mencegah kelainan hippocampal dan morbiditas pada pasien epilepsi. Pada epilepsy respon inflamasi dimediasi melalui astrosit reaktif yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsungUntuk epileptogenesis kontribusi langsung dari sstrosit reaktif adalah melalui  hipereksitabilitas   pada otak dan terdapat ketidakseimbangan ion kalium dan kalsium serta pelepasan glutamate.

            Temporal lobe epilepsy (TLE) merupakan jenis epilepsy yang sulit untuk ditatalaksana. Sebesar 30% dari tempral lobe epilepsy  merupakan epilepsy yang refrakter terhadap pengobatan. Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan terapi sel punca untuk mengobati epilepsy. Saat ini terapi menggunakan sel punca merupakan alternative pengobatan yang memiliki prognosis yang baik. Efikasi terapi epilepsy menggunakan sel punca saat ini masih merupakan perdebatan. Namun, consensus terbaru menyatakan bahwa diperlukan regenasi sel yang dapat dihasilkan oleh sel punca dalam mengobati epilepsy (Goodarzil, 2013). 

            Salah satu terapi untuk epilepsi yang dikembangkan adalah terapi sel punca.terapi sel punca telah digunakan pada beberapa penyakit neurologis yaitu  penyakit parkinson, multiple sclerosis,epilepsi.   Epilepsi dikaitkan dengan Faktor yang mendasari seperti kerusakan pada sel tertentu di otak yang bisa diganti dengan transplantasi sel punca. Sel punca menyediakan faktor endogen dalam mencegah epileptogenesis. sel punca bekerja langsung pada daerah epileptogenesis. 

            Terapi sel punca muncul sebagai pilihan terapi untuk epilepsi resistan terhadap obat anti epilepsi. Studi praklinis menunjukkan bahwa terapi sel punca dapat efektif dalam mengobati temporal lobe epilepsi. penelitian mengenai penggunaan sel punca dalam mengobati epilepsi pada tikus pengerat didapatkan frekuensi kejang menurun serta dan memperbaiki fungsi kognitif. Demikian juga, cangkok neuron yang diperkaya dengan interneuron telah terbukti mengurangi frekuensi dan intensitas kejang pada epilepsi. Hambatan utama yang melarang penggunaan terapi sel untuk mengobati gangguan SSP adalah masalah etika yang terkait dengan perolehan sel saraf, kelangsungan hidup sel yang ditransplantasikan, penolakan kekebalan tubuh, keefektifan fungsional sel tercangkok dan formasi teratoma yang mungkin terjadi. Sebuah konsensus menyebutkan  bahwa regenerasi inang  dapat dikaitkan dengan faktor pertumbuhan dan sitokin yang dikeluarkan oleh sel yang ditransplantasikan. Medium konduksi yang berasal dari kultur sel induk adalah sumber faktor pertumbuhan dan merupakan sitokin yang sangat baik yang mungkin memiliki sifat perlindungan terhadap berbagai kondisi penyakit. Penelitian terbaru yang menggunakan model in vitro neurodegenerasi menunjukkan bahwa mengenalkan medium terkondensasi yang berasal dari sel non-neuron seperti sel stroma adiposa  dan sel batang mesenkimal dari tulang  dapat melindungi neuron terhadap eksitasi. Demikian juga, sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa satu suntikan intravena sel stroma adiposa melindungi hippocampal dan neuron korteks terhadap cedera iskemik (Chandanala, 2014).

            Sel punca  adalah sel abadi yang bisa melakukan regenerasi. Potensi itu bisa menghasilkan jenis sel yang berbeda. Sumber sel punca seperti embrio, janin dan jaringan dewasa. Epilepsi merupakan salah satu target pengobatan dengans sel punca. Dua mekanisme utama yang mendasari efek terapeutik transplantasi sel punca pada pasien epilepsi yaitu terjadinya  transdiferensiasi, fusi sel, menghasilkan faktor trofik atau sitokin, dan bahkan mengaktifkan sel induk saraf endogen sehingga terjadi penggantian sel yang rusak.

Sel induk embrionik

Sel induk embrionik (ESCs) adalah sel pluripoten dengan potensi pembaharuan diri yang bisa diperoleh dari inner cell mass (ICM) blastokista dan memiliki kemampuan

berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel dari tiga lapisan. Beberapa penelitian melaporkan keuntungan yang cukup besar pada pendekatan berbasis ESCs dalam gangguan neurologis. Oleh karena itu, ESCs adalah kandidat sebagai terapi  terhadap berbagai penyakit klinis karena adanya regenerasi dari sel yang mengalami kerusakan. Pada penyakit neurodegenerative ESCs memberikan kesempatan untuk penggantian sel saraf yang rusak. Oleh karena itu, dengan kemampuan ESCs melakukan regenerasi dapat digunakan sebagai pilihan terapi pada epilepsi. ESCs bisa berdiferensiasi menjadi progenitor sel saraf Dibedakan  atau fungsional neuron dan sel glial setelah transplantasi. Selain itu, ESCs dapat dikembangkan secara in vitro dan mudah untuk dikembangkan menjadi sangat  sel progenitor saraf. Pada epilepsi, neuron yang rusak atau hilang dapat diganti dengan ESCs juga mediator penghambatnya Seperti γ-aminobutyric acid (GABA) yang digunakan untuk menghambat kejang dan mengurangi eksitasi pada epilepsi kronis. Sebuah studi menarik menunjukkan bahwa setelah transplantasi Sel progenitor saraf  ke dalam Hippocampi  tikus dengan status epilepticus terdapat diferensiasi menjadi sel saraf dewasa. Hasil ini menunjukkan bahwa ada lingkungan yang kompatibel dengan diferensiasi sel progenitor di otak yang rusak pada epilepsi kronis. Penolakan kekebalan tubuh juga merupakan masalah yang umum dengan terapi sel punca. risiko ini diminimalisir dengan sel punca embrio (Chandanala, 2014).

 

 

Sel punca janin

Sel induk saraf janin menunjukkan  diferensiasi dan integrasi yang baik setelah dilakukan transplantasi pada sistem saraf pusat. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui efektifitas pada kelainan neurologi,terutama pada cedera saraf spinal, stroke, dan gangguan metabolik. GABA memiliki efek mendasar pada epilepsi yang berfungsi mengurangi eksitabilitas pada epilepsy.  

            Transplantasi sel penghasil GABA Ke otak telah diteliti dalam berbagai model penelitian, terutama epilepsi pada lobus temporal. hilangnya GABAergic Sel mendukung kelayakan terapi seluler pada epilepsi. Beberapa penelitian mengenai injeksi sel penghasil GABA di berbagai bagian otak misalnya, substantia nigra, hippocampus dan dentate gyrus pada  epilepsi,menunjukkan terdapat penurunan kerentanan kejang. Dalam penelitian lain, sel GABA-ergic yang disuntikkan  ke dalam hippocampus tikus dewasa berdiferensiasi  menjadi berbagai jenis interneuron penghambat kejang sehingga  mengurangi frekuensi kejang secara signifikan. Penelitian lain menunjukkan bahwa transplantasi Sel induk saraf janin ke dalam hippocampi pada epilepsi tikus bisa mengurangi kejang lama. Sebuah penelitian mengejutkan dilakukan oleh Baraban et al., yang menyuntikkan sel prekursor saraf janin untuk pengobatan kejang pada pasien epilepsi menunjukkan pengurangan frekuensi kejang. Pengobatan dengan sel punca janin memberikan efek terapeutik yang dapat  mengendalikan aktivitas kejang. Transplantasi intravena  Sel punca janin menunjukkan penurunan yang signifikan dalam frekuensi kejang dan tingkat keparahan. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa transplantasi sel prekursor hippocampal bisa membantu memperbaiki defisit belajar dan memori yang berhubungan dengan status epileptikus. Meski memiliki beberapa keunggulan namun diperlukan lebih banyak penelitian  untuk mengkonfirmasi keamanan sel punca janin (Yasuhara, 2013).

 

Induced Pluripotent Stem Cells

Induced pluripotent stem sel merupakan jenis sel punca yang paling sukses.Transplantasi untuk pengobatan berbagai penyakit dapat melalui  terapi sel induk dewasa yang bisa menjadi  sumber sel induk autologous dan  tidak terdapat imunogenisitas. Induced pluripotent stem cells (iPSCs)  dihasilkan dari sel somatik. IPSC manusia adalah pilihan sebagai obat regeneratif dan perbaikan jaringan. Saat ini, penggunaan iPSC untuk perawatan kelainan neurologis mulai dikembangkan. Teknologi iPSC bisa memproduksi sel induk pluripoten dan memprogram ulang tanpa menggunakan virus  in vitro dan akibatnya mengurangi risiko vektor episomal virus. namun tetap diperlukan studi lebiih lanjut untuk menyadari risiko residual ekspresi transgen dan potensi neoplasia (Janice, 2010).

 

Sel induk Mesenchymal

Beberapa penelitian melaporkan efek terapeutik mesenchymal stromal Sel (MSCs) pada gangguan sistem saraf pusat seperti cedera tulang belakang, stroke, penyakit parkinson, dan cedera kepala. Efek terapeutik dari sel induk mesenkimal menyebabkan  stimulasi sel glial endogen atau saraf sel punca, pengurangan apoptosis dan degenerasi, modulasi respon inflamasi, dan perbaikan sel saraf.  MSCs membangkitkan sifat neuroprotektif dengan melepaskan faktor neurotrofik  dan imunomodulasi.

            MSC manusia bisa berasal dari sumsum tulang dan jaringan lainnya  contoh; Jaringan adiposa, darah tepi, darah dan jaringan tali pusar.  Sumsum tulang merupakan sumber sel induk mesenkimal yang mudah diakses dan bersifat autologous.Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkonfirmasi efek terapi MSC manusia pada pasien epilepsi, serta kelangsungan hidup MSC yang ditransplantasikan (Yasuhara, 2013).

 Kesimpulan

Saat ini sekitar 30 persen pasien epilepsi tidak merespon obat-obatan antikonvulsan. Kondisi ini menyebabkan para peneliti bekerja untuk mencari pengobatan alternatif, termasuk yang melibatkan sel punca. Neuropeptida Y (NPY) adalah agen antikonvulsan yang ada di otak manusia yang sehat. Jumlah neuropeptida Y (NPY) yang ditemukan pada pasien epilepsi berjumlah sangat sedikit. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Society Epilepsi, ditemukan bahwa NPY berhubungan dengan pengaturan listrik di otak. Dalam sebuah penelitian dapat merekayasa sel punca untuk memproduksi NPY, dan kemudian hasil rekayasa sel punca tersebut digunakan untuk otak yang terkena epilepsi. Para peneliti di University of California menemukan bahwa plastisitas sel punca embrionik dapat membantu memperbaiki sel-sel otak yang rusak yang disebabkan oleh kejang berulang. Gangguan kejang ditandai oleh hyperexcitability dari berbagai jenis sel-sel otak, sehingga sel-sel otak ini lebih rentan daripada sel-sel otak yang sehat untuk terkena loncatan aktivitas listrik.             Dengan menambahkan sel punca yang sehat telah diketahui dapat menenangkan aktivitas listrik pada otak tikus. Mekanisme bagaimana sel punca bisa berubah menjadi sel yang khusus belum sepenuhnya dapat dipahami. Penolakan kekebalan tubuh juga merupakan masalah yang umum dengan terapi sel punca, meskipun risiko ini diminimalisir dengan sel punca embrio.

 

 Daftar Pustaka

 

 Shashank Chandanala, S., Prasad Y.S.,  Venugopal,C., Anandh Dhanushkodi, A. 2014.  Stem Cells Based Therapy for Temporal Lobe Epilepsy.  Journal of     Clinical and Biomedical Sciences, 4(2):267-71.

 

 Goodarzil, P., Aghayan,H.R., Soleimani, M., Javidan, A.N., Jahani, F.M. 2013.   Stem Cell Therapy for Treatment of Epilepsy. Acta Medica Iranica,           52(9):651-655.

 

Janice, R., Naegele,  Maisano, X. 2010.  Gene and Stem Cell for Treating Epilepsy           [cited 2017 August 17]. Available from wesscholar.wesleyan.edu.

 

Kishk, N., Abokrysha, N.  2011. Stem Cell in Neurological Disorders [cited           2017 August 17]. Available from http://www.intechopen.com/books/stem-          cells-in-clinic-andresearch.

 

Yasuhara, T., Agari, T., Kameda, M., Kondo, A., Kuramoto, S., Jing, M., Sasaki, T.,         Toyoshima, A., Sasada, S., Sato, K., Shinko, A., Wakamori, T., Okuma, Y.,            Miyoshi, Y., Tajiri, N., Borlongan, C.V., Date, I. 2013. Regenerative    Medicine for Epilepsy: From Basic Research to Clinical Application. Int. J.             Mol. Sci, 14:23391-23401.