Overview Kejang pada Neonatus
28/08/2023 Views : 207
I Made Karma Setiyawan
Kejang pada neonatus merupakan penyakit yang sangat serius dan mengancam nyawa, dimana hal ini merupakan pertanda adanya kerusakan atau penyakit yang signifikan pada sistem saraf pusat (Hill, 2000). Kasus ini diperkirakan terjadi hingga 0,8-1,2 kasus per 1000 neonatus per tahun di negara maju (Putri et al, 2011). Pada bayi cukup bulan angka kasus ini meningkat hingga 3 kasus per 1000 kelahiran hidup bayi cukup bulan atau sebesar 1,4%, sedangkan pada bayi lahir kurang bulan meningkat cukup drastis hingga 60 kasus per 1000 kelahiran hidup bayi kurang bulan atau sebesar 20% (Putri et al, 2011). Selain insiden yang cukup tinggi, angka mortalitas juga cukup tinggi hingga 15% pada bayi cukup bulan dengan kemungkinan terjadinya kecacatan berupa retardasi mental, palsi serebral, dan epilepsi hinga mencapai 2/3 kasus (Wittick, 2010). Pasien neonatus yang mengalami kejang, sangat jarang sekali diakibatkan secara idiopatik, melainkan lebih diakibatkan oleh penyakit lainnya seperti HIE (Hypoxic-Ischemic-Encepalopathy) yang mencapai 30-50% kasus (Putri et al, 2011). Kejang pada neonatus pun cukup berbeda dengan kejang yang terjadi pada jenjang usia lainnya, dimana sangat jarang bersifat kejang umum, akibat imaturitas kortikal sistem saraf pusat dan myelinisasi yang belum adekuat pada koneksi hemisferik (Hill, 2000; Wittick, 2010). Tatalaksana kejang pada neonatus hampir sama dengan kejang lainnya, dimana langkah awal menangani kegawatdaruratan vital pada pasien, yaitu menjaga oksigenasi yang baik dan dukungan kardiovaskular (Hill, 2000; Wittick, 2010; Putri et al, 2011). Menurut Slaughter et al, 2013 fenobarbital masih merupakan pilihan lini pertama dalam tatalaksana simptomatis kejang, disusul penggunaan fenitoin dan benzodiazepine. Urutan pemilihan modalitas antikejang ini didasarkan atas level dan ketersedian bukti ilmiah yang paling baik serta kekurangan dan kelebihan dari terapi farmakologis ini masing-masing (Slaughter et al, 2013). Pemberian obat ini untuk menterminasi kejang pada neonatus masih memiliki efek yang agak kurang memuaskan (Wittick, 2010). Seperti contoh fenobarbital sebagai terapi lini pertama hanya mampu menterminasi kejang sebanyak sepertiga hingga setengah dari keseluruhan kasus kejang pada neonatus, sehingga perlu penambahan terapi lini berikutnya (Wittick, 2010). Kurang memuaskannya angka keberhasilan terapi antikejang, tidak terlepas dari patofisiologi kejang pada neonatus itu sendiri, yaitu imaturitas perkembangan neurotransmitter eksitasi dan inhibisi sehingga target mekanisme kerja antikejang konvensional tidak optimal (Glass, 2014). Karena kejang pada neonatus merupakan manifestasi dari penyakit lainnya, identifikasi dan penanganan kausal segera adalah penanganan yang utama dan akan memberikan prognosis yang lebih baik (Putri et al, 2011; Glass, 2014). Karakteristik kejang pada neonatus yang unik dan penanganan farmakologis yang masih agak kurang memuaskan serta angka kematian dan kecacatan yang terbilang cukup tinggi, membuat para dokter wajib mengetahui tatalaksana yang tepat untuk mencegah peningkatan angka mortalitas dan kecacatan akibat kejang. DAFTAR PUSTAKA Glass, HC. 2014. Neonatal Seizures: Advances in Mechanisms and Management. Clin Perinatol, 41(1), 177-190. Hill, A. 2000. Neonatal Seizures. Pediatrics in Review, 21 (4), 117-121. Putri, HA., Widodo, DP., Herini, SE., et al. 2011. Chapter 25: Kejang dan Spasme pada Neonatus. In: Pudjiadi, AH., Pedoman Pelayanan Medis – Ikatan Dokter Anak Indonesia. ed 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 155-160. Slaughter, LA., Patel, AD., Slaughter, JL. 2013. Pharmacological Treatment of Neonatal Seizures: A Systemic Review. J Child Neurol, 28(3), 351-364. Wittick, L. 2010. Chapter 2: Neurologic Emergencies: Neonatal Seizure. In: Cantor, MR., Neonatal Emergencies. ed 1. US: McGraww-Hill Companies, Inc, 47-55.