Stratifikasi Sosial Pada Masa Prasejarah di Bali

I Wayan Ardika, I ketut Setiawan, I Wayan Srijaya, Rochtri Agung Bawono

ISBN : 978-602-294-208-5 Published : 2017

Abstrak

Temuan arkeologi di situs Sembiran dan Pacung mengindikasikan bahwa Bali telah mengadakan hubungan dengan India, Asia Tenggara Daratan, dan Tiongkok. Berdasarkan pertanggalan absolut, hubungan tersebut terjadi pada pertengahan Abad Kedua Sebelum Masehi atau sekitar 2150 tahun yang lalu.

Data arkeologi yang menunjukkan adanya hubungan India dengan Bali antara lain berupa gerabah dengan pola hias rolet, gerabah Arikamedu tipe 10, Arikamedu tipe 18, Arikamedu tipe 141, gerabah bertuliskan huruf Kharoshti/Brahmi, manik-manik kaca dan karnelian, serta lempengan daun emas penutup mata. Artefak India tersebut pada umumnya ditemukan di Bali dalam konteks bekal kubur orang meninggal.

Sejumlah gerabah yang menunjukkan ciri-ciri khas Asia Tenggara (Sa Huyn-Kalanai) juga ditemukan di situs Sembiran dan Pacung. Selain itu, basil analisis manik-manik kaca dan (ragmen logam dari situs Sembiran dan Pacung juga menunjukkan kesamaan dengan sampel dari Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Bahkan besar kemungkinannya ada pertukaran bahan baku logam dan pengaruh teknologi pengerjaan logam, terutama perunggu dari kebudayaan Dongson, di Vietnam sekitar pertengahan Millinium Pertama Sebelum Masehi.

Hubungan Bali dengan Tiongkok dibuktikan dengan adanya temuan gerabah dan cermin perunggu dari dinasti Han, masingĀ­masing di situs Sembiran dan Pacung, serta situs Pangkung Paruk, Seririt. Secara tipologi, temuan cermin perunggu di situs Pangkung Paruk diduga berasal dari abad Pertama Masehi. Cermin perunggu di situs Pangkung Paruk ditemukan sebagai bekal kubur dalam sarkopagus.

Berdasarkan temuan arkeologi di situs Sembiran, Pacung, dan Pangkung Paruk, Bali tampaknya telah terlibat dalam sistem perdagangan internasional pada awal abad Masehi atau sekitar 2000 tahun yang lalu. Pantai utara Bali tampaknya merupakan lokasi yang strategis dalam konteks perdagangan internasional, yang menghubungkan Indonesia bagian timur dan barat.

Sesuai dengan judul, tujuan khusus dan urgensi penelitian ini adalah mengetahui munculnya stratifikasi sosial pada masa prasejarah di Bali. Artefak yang berasal dari India, Asia Tenggara Daratan, dan Tiongkok senantiasa ditemukan dalam konteks bekal kubur atau disertakan pada orang yang meninggal. Dalam perspektif arkeologi Pasca Prosesual (Postprocessual), budaya material sering dikaitkan dengan status sosial seseorang. Seiring meningkatnya hubungan internasional dengan India, Asia Tenggara, dan Tiongkok maka masyarakat Bali pada masa prasejarah atau pra Hindu sekitar 2000 tahun yang lalu dapat dikatakan bersifat hedonisme. Mereka menganggap barang-barang import memiliki prestige yang tinggi dan dianggap sebagai.simbol status.

Seperti telah disebutkan bahwa hubungan dengan Asia Tenggara Daratan, terutama Vietnam telah mendorong berkembangnya teknologi logam, terutama perunggu di Bali, meskipun pulau ini tidak memiliki bahan baku logam seperti tembaga dan timah. Temuan fragmen cetakan nekara di situs Sembiran dan Manuaba mengindikasikan bahwa nekara perunggu dibuat di Bali. Nekara telah ditemukan di Pejeng yang kini masih disimpan di Pura Penataran Sasih. Nekara Pejeng adalah temuan terbesar di Asia Tenggara, bahkan di dunia dengan motif yang sama dengan cetakan di Manuaba. Selain nekara Pejeng, wadah kubur dengan artefak yang sama ditemukan di Manukliu, Kintamani.

Selain kubur nekara, puluhan peti mayat dari batu padas atau sarkopagus juga ditemukan tersebar di Bali. Pada masa prasejarah atau pra Hindu di Bali terdapat tradisi penguburan dengan menggunakan sarkopagus. Mereka yang dikubur dalam sarkopagus tampaknya memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat pada masa itu. Asumsi ini didasarkan atas adanya temuan rangka yang dikubur dalam tempayan atau tanpa menggunanakan wadah. Para ahli arkeologi berpendapat bahwa jumlah energi yang diperlukan untuk upacara kematian atau penguburan mayat sebanding dengan status sosial orang yang meninggal. Semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk upacara kematian seseorang maka semakin tinggi pula status sosial yang bersangkutan beserta keluarganya. Dalam konteks ini, pembuatan nekara ataupun sarkopagus memerlukan energi yang lebih banyak dari pada membuat tempayan atau tanpa wadah kubur.

Bekal kubur berupa manik-manik kaca dan karnelian, perhiasan dari emas atau perunggu (gelang, kalung, cincin, pelindung jari, penutup mata, dan ikat pinggang), senjata dan peralatan logam lainnya dapat mengindikasikan status sosial individu yang mati dan keluarganya. Semakin langka dan dari jauh tempat asal artefak itu, maka semakin tinggi pula nilai sosial atau prestigenya. Gerabah, manik-manik kaca dan karnelian, lempengan daun emas penutup mata dari India, dan cermin perunggu dari Tiongkok dapat diasumsikan mempunyai nilai penting dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa prasejarah atau pra Hindu.

Berdasarkan uraian di depan dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial telah muncul dalam masyarakat Bali pada pertengahan abad Kedua Sebelum Masehi atau sekitar 2150 tahun yang lalu. Masyarakat Bali pada masa prasejarah telah bersifat hedonis dan beranggapan bahwa artefak-artefak dari luar