REVIEWING HOUSING PROGRAMS IN BALI

12/06/2020 Views : 640

NGAKAN PUTU SUECA

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah propinsi Bali mulai memperlihatkan kepeduliannya pada masyarakat yang tidak beruntung (disadvantage), termasuk program bedah rumah, jaminan kesehatan, pendidikan gratis untuk sekolah dasar dan menengah. Apresiasi harus diberikan untuk komitmen pemda bagi tiga kebutuhan dasar masyarakat ini meskipun pelaksanaannya harus terus diupayakan penyempurnaannya. Khususnya bagi mereka yang tidak memiliki rumah yang layak huni,  melalui anggaran pembangunan daerah Bali, pemerintah memprogramkan membangun rumah bagi masyarakat miskin di beberapa kabupaten prioritas. Secara sepintas, program ini nampaknya berpihak kepada rakyat yang benar-benar membutuhkan bantuan. Akan tetapi, mungkin perlu dipertimbangkan apakah masyarakat miskin itu memang membutuhkan rumah yang dihadiahkan itu? Adakah prioritas kebutuhan mereka yang lebih esensi? Lalu apakah program ini hanya akan memperbaiki angka statistik sementara, sedangkan lima atau sepuluh tahun lagi mereka ini akan kembali harus digelontor dengan dana yang lebih besar karena tidak mampu memperbaiki ataupun membangun rumahnya yang mungkin roboh? Adakah alternatif lain untuk membantu mereka agar dapat hidup lebih layak dan kemudian mereka membangun rumahnya sendiri? Kata orang, jangan memberikan ikannya, tetapi berikanlah pancing agar mereka dapat mencari ikan sendiri demi mememuhi kebutuhan hidupnya.

Sandang, pangan dan papan

Rumah sudah pasti merupakan kebutuhan pokok manusia hidup selain pangan, sandang, pangan dan papan. Mengapa sandang terlebih dahulu dan mengapa papan belakangan? Tentu ada logikanya. Dalam logikan saya, manusia tentu harus berpakaian terlebih dahulu. Kalau bugil, pastilah tidak dapat melakukan apa-apa kecuali disebut gila. Tidak punya rumah, masih dapat menumpang, tinggal di gubuk seadanya. Setelah berpakaian seadanya, mereka dapat melakukan aktivitas produksi untuk menghasilkan atau mendapatkan pangan. Apabila seseorang sudah mendapatkan makan maka mereka dapat melakukan kegiatan yang lebih baik. Mereka menjadi lebih sehat. Kalau mereka dapat berproduksi lebih banyak dari yang mereka butuhkan maka mereka dapat menabung untuk membangun rumahnya. Rumah barangkali merupakan kebutuhan pokok setelah yang dua sebelumnya dipenuhi. Ini merupakan analisa yang terlalu sederhana atau menyederhanakan realitas yang ada. Gradasi kebutuhan Maslow pun sudah dikritik dan ditentang. Terlalu rumit untuk menjelaskan skala prioritas manusia yang sangat beragam itu. Tetapi secara umum barangkali dapat dikatakan seperti di atas.

Dengan demikian maka tepatkah kalau pemerintah memberikan hibah kepada masyarakat miskin ini dalam bentuk rumah yang telah jadi? Tentu keberhasilan program ini belumlah dapat diuji karena baru akan dilaksanakan tahun ini. Namun apapun yang menjadi dasar dan menjadi sasaran program ini, secara tersurat dan tersirat ada niat yang sangat luhur didalamnya. Akan lebih baik lagi, jika program ini dapat dilaksanakan secara lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Terutama dalam hal dampak terhadap masyarakat miskin ini. Dengan dana yang terbatas tentu kita semua menginginkan hasil yang paling optimal.

Permasalahan perumahan

Masalah rumah bukan hanya monopoli negara-negara berkembang, namun juga negara maju. Akan tetapi, masalah yang dihadapi setiap negara berbeda-beda. Hampir setiap negara memiliki masalah defisit perumahan yang berbeda prosentasenya. Masalah lainnya tentulah lebih variatif, baik menyangkut kualitas, infrastruktur, sistem pengadaan, kepemilikan, kebutuhan, suplai, pembiayaan, dan sebagainya.

Indonesia secara umum selalu mengalami defisit perumahan yang terus membengkak dari waktu ke waktu. Masalah ini dikarenakan pertumbuhan permintaan selalu lebih besar dibandingkan dengan kemampuan suplai. Oleh karena itu, kekurangan setiap tahun akan menumpuk dan berakumulasi secara terus menerus. Disamping masalah ketidakcukupan produksi dibandingkan kebutuhan, kita juga menghadapi masalah kualitas rumah, yang tentu berbeda antar daerah perkotaan dan perdesaan maupun antar propinsi. Menteri Perumahan Rakyat beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa kekurangan rumah di Indonesia sekarang ini mencapai lebih dari tujuh juta unit. Dengan jumlah produksi setiap tahun yang dapat dibangun selama ini dapat diperkirakan bahwa defisit ini akan terus bertambah. Sementara itu, pemerintah daerah belum memiliki skema yang jelas dan terukur tentang pembangunan perumahan. Ironisnya, peta permasalahan secara lebih rinci kita tidak punya. Masalahnya adalah bagaimana mungkin kita dapat membuat rencana jangka panjang yang baik untuk memecahkan masalah perumahan ini? Tidak salah lalu kalau program perumahan bersifat sporadis.

Secara umum masalah perumahan di perdesaan dan perkotaan di Bali sangatlah berbeda.  Permasalahan perumahan di kota lebih pada kekurangan pasokan dan maldistribusi aset properti. Di satu sisi, bagi golongan miskin, akses untuk memiliki rumah sangatlah sulit. Jalan terjal harus mereka lalui untuk dapat memiliki rumah yang layak. Ini terutama terkait dengan disparitas antara pendapatan dan harga rumah di daerah ini yang sangat tajam. Untuk daerah Bali, harga rumah sederhana relatif tinggi utamanya akibat biaya produksi. Biaya produksi ini sebagian besar disebabkan mahalnya harga tanah. Bagi golongan masyarakat bawah, mempunyai rumah bagaikan sebuah mimpi. Mereka akhirnya kebanyakan menempati wilayah-wilayah permukiman kumuh, membangun rumah di atas tanah milik orang lain, menyewa rumah, atau hidup di tempat-tempat indekosan. Ada sebagian kecil yang menyerobot tanah-tanah negara (squatter). Sejumlah masyarakat miskin perkotaan harus tinggal pada rumah yang tidak layak huni (slums areas).

Dipihak lain, masyarakat golongan menengah ke atas dapat menjangkau rumah layak bahkan banyak di antara mereka surplus rumah. Sebagian rumah mereka tempati dan sebagian lainnya mungkin untuk kepentingan investasi, spekulasi,  dikontrakkan, untuk membuka usaha, dan berbagai cara pengelolaan lainnya. Berapa jumlah mereka ini juga nampaknya belum teridentifikasi.

Di perdesaaan, hampir sebagian besar masyarakat memiliki rumah dan bahkan tidak sulit bagi kita kini untuk menemukan rumah tanpa penghuni. Masalahnya adalah bahwa kondisi sebagian perumahan mereka sangat mengenaskan dan memprihatinkan. Banyak di antara mereka memiliki aset seperti tanah (pekarangan) dan tanah garapan tetapi tidak memiliki cukup biaya untuk membangun rumah. Jangankan membangun atau memperbaiki rumah, untuk makan seadanya saja mereka harus berjuang keras. Keluarga miskin perdesaan sebagian besar diakibatkan oleh karena mereka tidak memiliki akses ekonomi, baik karena keterbelakangan pendidikan, tidak memiliki keterampilan, himpitan alam dan lingkungan, keterbatasan akses informasi, kesulitan modal, dan sempitnya lahan garapan. Kondisi mereka tentu beragam dan tidak sesederhana yang dapat kita bayangkan.

Rumah, sebuah proses bukan produk

Rumah adalah sebuah proses, bukan sekedar produk. Artinya, bahwa rumah merupakan refleksi dari proses kehidupan manusia pemilik/penghuninya. Rumah tumbuh mengikuti perkembangan orangnya. Dalam hal perkembangan status sosial ekonomi, misalnya, rumah mengikuti dinamika pemiliknya. Pada saat orang mulai berumah tangga umumnya orang mulai membina karir. Perkembangan karir seseorang berasosiasi langsung pada pendapatan. Perkembangan pendapatan akan berpengaruh terhadap perkembangan kebutuhan serta keinginan. Seorang dalam kondisi ekonomi pas-pasan maka kebutuhan akan rumah mereka juga yang secukupnya. Tuntutan akan kebutuhan rumah yang lebih baik, lebih layak akan mengikuti perkembangan status sosial ekonomi seseorang. Demikian juga kebutuhan akan tuntutan-tuntutan sekunder serta tersier lainnya akan berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi.

Oleh karena itu, mungkin harus dipertimbangkan bahwa pemenuhan kebutuhan mendasar untuk dapat meningkatkan pendapatan wargalah yang perlu diprioritaskan. Memang betul bahwa kondisi rumah sangat berpengaruh terhadap kesehatan, produktivitas, kreativitas, kebahagiaan setiap orang. Akan tetapi bila status sosial ekonomi diperbaiki maka pemenuhan kebutuhan hidup yang lainnya akan dengan sendirinya menjadi lebih baik.

Kebutuhan yang lebih prioritas bagi masyarakat miskin adalah lapangan kerja. Pembukaan lapangan kerja di perdesaan mungkin melalui inpres atau pembangunan infrastruktur padat karya. Disamping itu, program peningkatan pengetahuan serta keterampilan masyarakat juga dapat meningkatkan peluang kerja mereka yang lebih baik. Ini terutama perlu bagi masyarakat berpendidikan rendah yang sulit mendapatkan akses pada lapangan kerja yang memerlukan skilled workers. Perbaikan infrastruktur perdesaan juga akan meningkatkan akses mereka pada sumber-sumber ekonomi di luar desa dan memperlancar distribusi barang dan jasa serta informasi bagi masyarakat perdesaan. Pengembangan wilayah perdesaan menjadi obyek wisata, fasilitas penunjang wisata ataupun pengembangan menjadi daerah industri kerajinan mungkin perlu dikaji terutama bagi desa-desa yang memiliki potensi untuk itu. Pengembangan wilayah perdesaan menjadi tempat investasi yang potensial juga dapat diujicobakan, tentu dengan studi terlebih dahulu.

Masyarkat miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan memiliki metode serupa didalam memenuhi kebutuhan akan rumah. Dengan modal uang yang sangat minim mereka umumnya memprioritaskan kebutuhan primer terlebih dahulu. Yang termasuk kebutuhan primer mereka adalah makan dan pendidikan. Rumah mereka adalah sekedar tempat berlindung dari hujan dan terik matahari. Rumah yang mereka tempati umumnya dibuat dari bahan-bahan sederhana, atau bahan bekas. Demikian pula perabotan yang ada di dalamnya, mungkin tidak ada kasur, bahkan hanya beralaskan tikar sobek yang lama tidak diganti. Satu ruang yang mereka tempati bahkan mungkin harus dibagi dengan seluruh anggota keluarga yang ada, karena tidak ada bilik lain yang dapat digunakan. Pembangunan rumah itupun mungkin lebih banyak mereka kerjakan sendiri, dibantu para tetangga secara gotong royong. Mereka umumnya memiliki waktu luang tetapi tidak tahu bagaimana memanfaatkannya untuk hal-hal produktif karena keterbatasan yang dimiliki.

Pembangunan perumahan memiliki dampak forward dan backward ekonomi yang cukup penting. Pada waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pembangunan perumahan akan dapat menyerap banyak tenaga kerja, baik pada tingkat atas, menengah maupun pekerja tingkat bawah. Pembangunan ini juga membutuhkan bahan bangunan dari berbagai macam, baik yang diproduksi di pabrik-pabrik maupun yang diproduksi oleh masyarakat secara manual. Industri bahan bangunan ini juga menyerap investasi dan tenaga kerja yang tidak sedikit. Semakin tinggi komponen bahan lokal maka semakin tinggi dampak ekonomi yang ditimbulkan, dan demikian sebaliknya. Oleh karena itu, sisi pemberdayaan masyarakat harus dipertimbangkan dalam program bedah rumah. Disamping itu, setelah pembangunan rumah selesai, dampak ekonominya terus tumbuh. Industri interior, mebeler, pemeliharaan bangunan dan lingkungan juga menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Demikian pula untuk kebutuhan lanskap akan memiliki dampak ganda yang cukup penting. Akan tetapi harus diingat pula, bahwa dampak yang sungguh fatal dapat terjadi apabila pembangunan rumah terlalu berlebih dan melibatkan investasi dengan pinjaman yang tidak terkontrol. Ini pernah kita alami pada tahun 1997 yang mengakibatkan bangkrutnya ekonomi kita. Gejala yang mirip juga dialami negeri adidaya Paman Sam beberapa tahun terakhir. Kredit macet di bidang perumahan adalah sesuatu yang dapat mengamcam ekonomi negeri. Namun, Bali tidaklah perlu terlalu khawatir karena wilayah ini terlalu kecil kalau sampai menyebabkan kebangkrutan ekonomi negara.

Program bedah rumah tidaklah jelek, semasih itu sebagai sebuah crash-program, namun untuk program jangka panjang harus dipikirkan kembali blue-print komprehensif meningkatkan kesejahteraan masyarakat, apakah melalui pendidikan, pemberian jaminan kesehatan masyarakat miskin, beasiswa bagi mereka yang berprestasi tetapi miskin, subsidi pendidikan bagi golongan masyarakat ekonomi lemah, dan sebagainya. Sebagian dari hal ini nampaknya telah pula dicanangkan oleh pemerintah daerah.