BALI TOURISM PARADOX
14/06/2020 Views : 1166
NGAKAN PUTU SUECA
Ditengah
gemerlapnya prospek ekonomi kepariwisataan Bali yang menusuk ke seantero bumi,
ternyata manfaat yang diperoleh bagi kehidupan orang Bali semakin
mengkhawatirkan. Alih-alih mereka semakin makmur, malah sebaliknya prosentase
penduduk lokal yang masuk dalam kategori miskin semakin tinggi. Makin banyak
diantara mereka yang patut mendapatkan belas kasihan gubernur melalui proyek
bedah rumah. Makin banyak pula tak mampu menyekolahkan anak-anak meskipun untuk
menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, apalagi ke pendidikan menengah dan
tinggi. Bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan, semakin banyak yang tak
mampu memiliki rumah karena harganya yang tak terjangkau. Standar harga
berbagai komoditas dan kebutuhan hidup sehari-hari berdasarkan standard turis.
Ditengah himpitan ini, orang Bali malah rela memberikan beban yang tak pernah
meringankan bagi kelompoknya. Beban kehidupan sosial, agama, dan berbagai beban
lainnya mengharuskan orang Bali semakin terdesak, terhimpit secara spasial dan
sosial, bahkan suatu saat mungkin akan punah dan memunahkan diri. Berbagai
dampak negatif pariwisata lainnya seperti patologi sosial, kriminalitas, distorsi
budaya, polusi dan kehancuran lingkungan tak pernah sungguh-sungguh terpecahkan dan dipecahkan. Sandya kalaning Bali bahkan mungkin
sudah dimulai sejak beberapa dekade terakhir.
Efek negatif pariwisata
Selama ini orang
Bali dininabobokan oleh wacana-wacana gemerlapnya industri pariwisata yang dari
tahun ke tahun selalu mendapatkan reputasi sebagai tujuan wisata nomor satu di
dunia. Berbagai pujian telah meluluhlantakkan kepekaan dan kesadaran tentang
berbagai aspek negatif dari industri yang paling diminati banyak negara
sekarang ini. Diskusi lebih sering hanya menonjolkan hal-hal positif
pariwisata. Pariwisata Bali memang telah terbukti mampu menarik puluhan triliun
rupiah investasi sejak dicanangkan pada awal tahun tujuh puluhan. Ratusan
triliun telah dihasilkan, akan tetapi berapa yang diperoleh penduduk lokal.
Berapa persen saham yang dimiliki warga Bali di sektor ini? Apakah orang Bali
telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, atau kini sedang meradang karena
baru sadar hanya sebagai penonton dan telah menggadaikan tanahnya untuk
industri yang rakus lahan, air, energi, dan tak ramah lingkungan ini?
Dogma industri
pariwisata sebagai industri yang ramah lingkungan ternyata hanya bualan belaka?
Dilihat dari fakta yang ada di sekitar kita, ternyata pariwisata tak ramah
lingkungan, baik lingkungan sosial, fisik, biotis maupun lingkungan lainnya. Apakah
konsepnya yang salah atau kita yang gagal mengelolanya? Jika konsepnya salah,
mengapa banyak industri pariwisata negara maju telah memberi manfaat kepada
masyarakat dan dampak negatifnya sangat kecil? Jika kita salah mengelola, apa
kita berani mengakuinya? Siapa yang jujur dan sportif mengomentari tulisan di
majalah Times beberapa waktu lalu yang menyatakan Bali pariwisata neraka? Hanya
Gubernur Mangku Pastika sendirian? Itu hanya salah satu dari cerminan kita
didalam mengelola pariwisata. Pekerjaan lain masih terlalu banyak. Pariwisata
yang kita keloka ternyata sangat tidak ramah lingkungan. Lihatlah polusi,
sampah, simak polusi arsitektur. Mana identitas orang Bali yang ramah, kuat
menyamabraya, toleransi tinggi, suka damai? Semua ini terkikis habis karena
tekanan berkat kehidupan yang timpang akibat kesalahan pengelolaan.
Simaklah meningkatnya
angka kematian akibat bunuh diri. Cermatilah sengketa banjar dan desa pekraman
berebut batas wilayah. Hitunglah huru hara karena berbagai masalah adat dan
tradisi. Telusurilah kekerasan seksual terhadap anak-anak. Pelototilah
statistik penderita penyakit HIV/AIDS. Hitunglah
kerawanan sosial akibat meningkatnya kriminalitas. Hitunglah biaya tinggi yang
ditanggung masyarakat Bali akibat ekonomi pariwisata. Biaya sosial yang harus
kita tanggung akibat kesalahan dan keterlambatan berbenah sangatlah tinggi dan
bahkan mengancam eksistensi kita semua. Sadarlah wahai orang Bali. Berhentilah
mematuk-matuk kepala saudara sendiri. Sudahilah perkelahian dan mulailah
bergegas dan berbenahlah.
Bali telah habis
diperas sehingga yang tersisa hanyalah rasa frustrasi, kegelisahan karena
banyak yang merasa terabaikan, tak punya masa depan. Segala himpitan sosial ini
menjadi pemicu berbagai permasalahan sosial mulai dari bunuh diri, premanisme,
kriminalitas, perkelahian antar banjar, perang antar desa, tawuran antar
pemuda. Karena yang tersisa hanyalah ampas, maka orang Bali kini memeras antar
sesama. Saudara yang tidak punya apa-apa di desa lalu bersekolah dan mencari
peruntungan di daerah lain menjadi sumber ‘pemalakan’. Di kampung asal harus
membayar ‘ayahan’ karena tidak menjamin selalu dapat hadir dalam kegiatan desa.
Di kota menjadi objek pungutan. Banyak diantara mereka ini yang menjadi korban
distorsi budaya Bali akibat pembangunan dan kepariwisataan. Individualitas dan
budaya konsumerisme telah membawa masyarakat Bali terlalu mengagungkan uang dan
harta benda. Konsep paras paros segalak seguluk selunglung sebayantaka kini
hanya menjadi mitos tiada arti. Perebutan kuburan, pelarangan penguburan,
anarkisme di desa merupakan sebagian ekses dari kesalaharahan pembangunan di
bidang budaya Bali. Orang Bali kini telah banyak menjadi perampok, maling dan
pembunuh berdarah dingin hanya karena urusan perut dan hal-hal sepele. Bahkan
banyak diantara kita yang telah menjadi ateis memperjualbelikan benda-benda
sakral umat Hindu. Tetapi siapa peduli?
Paradoks
Konon,
kontribusi Bali yang mengalir deras ke pemerintah pusat luar biasa besar,
mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Kontribusi bandara internasional
Ngurah Rai saja katanya mencapai dua puluhan triliun setahun. Tetapi berapa
yang diperoleh Bali kembali? Angkanya pada kisaran dua sampai tiga triliun
berupa APBD provinsi dan kabupaten/kota, baik yang bersumber dari dana rutin
(DAU/DAK) maupun dari PAD. Apakah ini adil? Sementara untuk membangun
infrastruktur penunjang kepariwisataan pemerintah menganjurkannya kepada
investor, seperti pembangunan jalan tol untuk mengurai kemacetan di kawasan
bandara. Menurut hemat saya, ini tidak adil sama sekali. Pendapatan dari sektor
pariwisata Bali sebesar-besarnya harus dikembalikan ke Bali untuk meningkatkan
mutu pelayanan agar sektor ini terus tumbuh seperti yang diinginkan. Bali
bahkan tidak mampu menjaga kualitas infrastruktur yang ada. Coba saja simak apa
yang disampaikan oleh Kepala Dinas PU Provinsi Bali beberapa waktu lalu, bahwa
lebih dari 20 persen jalan di Bali rusak yang secara kuantitatif melampaui proporsi
jalan rusak yang ditoleransi. Ini hal pahit lain yang harus segera diperjuangkan
dan dituntaskan.
APBD Bali yang
sangat kecil dengan beban anggaran rutin yang mayoritas maka alokasi untuk
anggaran pembangunan tentulah sangat sangat minim. Bagaimana mau membuat Bali
lebih baik? Hal ini merupakan ketimpangan yang luar biasa antara gemerlapnya
nama Bali dengan kondisi keuangan daerah yang serba terbatas. Oleh karena itu,
tidak bisa tidak harus ada reorientasi nilai-nilai dan strategi
ipoleksosbudhankam menuju Bali jagadhita. Mungkinkah? Mengapa tidak. Perjuangan
untuk mendapatkan alokasi anggaran lebih dari sektor pariwisata harus terus
dilakukan. Masyarakat Bali harus membulatkan tekad untuk memperjuangkan ke
pemerintah pusat.
Disamping itu,
strategi lain untuk pengelolaan dana yang serta terbatas juga harus dicari. Kita
bersama harus mencari jalan keluar untuk efisiensi, mengurangi anggaran yang
tidak perlu, menghindari pembiayaan yang tidak semestinya, memfokuskan anggaran
untuk kebutuhan dasar rakyat, meletakkan pondasi yang kokoh bagi pembangunan
jangka panjang. Misalnya saja teknik pemeliharaan jalan harus dicari yang lebih
efisien dalam arti menyeluruh. Teknologi yang dipakai kini nampaknya tidak
efisien karena dengan menumpuk terus menerus maka jalan meninggi setiap tahun.
Ini berpengaruh terhadap infrastruktur lainnya seperti pedestrian, drainase
kota, jalan-jalan setapak, median dan badan jalan lainnya,
rumah-rumah/toko-toko dan semua bangunan di pinggir jalan harus terus
ditinggikan. Berapa triliun rupiah setiap tahun harus dibelanjakan oleh pemerintah
dan masyarakat untuk menyesuaikan ketinggian bangunannya dengan kondisi jalan
yang terus menerus tambah tinggi. Belum lagi ketinggian jalan yang terus
menerus ikut menenggelamkan situs-situs budaya seperti puri, pura dan warisan
budaya lainnya yang juga harus direstorasi yang menghabiskan biaya yang tidak
sedikit. Di tengah keterbatasan dana yang dimiliki, tentulah hal ini merupakan
pemborosan yang tidak perlu kalau saja kita mau sedikit berkerut dahi untuk
mencari solusi jangka panjang yang lebih baik. Jangan sampai kita hanya
berorientasi proyek dan mengenyangkan perut kita hari ini tetapi generasi
berikut terancam busung lapar. Tentu banyak contoh lain yang dapat dikemukakan
dan blue print pembangunan Bali untuk
50 atau 100 tahun harus diwacanakan dari sekarang dan dirumuskan segera.
(Naskah ini telah dipublikasikan pada Majalah Wahana,
majalah Alumni Udayana)