PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN WICARA
22/06/2020 Views : 1227
I WAYAN WINDIA
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pengakuan tersebut tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) yang ada di Provinsi Bali disebut Desa Adat. Dimaksud Desa Adat adalah “kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. (Pasal 1 nomor 8 Perda Prov. Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali). Organisasi serupa yang merupakan bagian dari Desa Adat dan secara organisasi berasa di bawah Desa Adat disebut Banjar, Banjar Suka Duka atau sebutan lain. (Pasal 1 nomor 9 Perda Prov. Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali).
Selain berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara tradisional Desa Adat telah diakui memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri (hak otonomi). Hak dan kewenangan yang dimaksud meliputi antara lain: hak dan kewenangan dalam membuat aturan (dikenal dengan sebutan awig-awig dan/atau perarem desa adat) serta menyelesaikan perkara adat/wicara (selanjutnya disebut wicara) yang terjadi di wilayah atau wewidangan-nya. Hak dan kewenangan dalam menyelesaikan wicara yang terjadi di wilayah atau wewidangan-nya dapat dilaksanakan oleh Bendesa (pucuk pimpinan prajuru desa adat), prajuru (perangkat pimpinan) Desa Adat, atau bisa juga dilaksanakan dalam suatu paruman (rapat) Desa Adat, yang dipimpin oleh Bendesa bersama anggota prajuru lainnya.
Baik penyelesaian wicara oleh Bendesa atau oleh prajuru maupun dalam paruman Desa Adat yang dipimpin oleh prajuru, semuanya dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat yang dikenal dengan awig-awig, baik tertulis maupun belum tertulis, tanpa didasari ketentuan/aturan tertulis sebagai petunjuk pelaksanaan penyelesaian wicara. Kenyataan ini dalam beberapa hal cendrung dapat menimbulkan permasalahan, seperti: (a) muncul keraguan dalam menyelesaiakan wicara; (b) tidak ada kepastian hukum mengenai tata cara dalam menyelesaiakan wicara; (b) kesulitan dalam melacak cara/hasil penyelesaian terdahulu apabila muncul kasus serupa dikemudian hari; (c) kesulitan dalam mempelajari cara menyelesaikan wicara; dll.
Suasana relatif lebih baik sesudah Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra.II/C/119/1979 Tentang Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA). Sesuai namanya, tugas utama MPLA adalah melakukan pembinaan terhadap desa adat di Provinsi Bali. Disusul kemudian dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 Tentang Kedudukan dan Fungsi Desa Adat sebagai Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali.
Selanjutnya Pemerintah Provinsi Bali memberlakukan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman yang kemudian diubah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Thun 2003 Tentang Desa Pakraman. Berdasarkan Peraturan Daerah ini kemudian dibentuk Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali pada tanggal 27 Februari 2004 bertempat di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Adat Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Organisasi MDP Bali dibentuk secara berjenjang mulai di Provinsi Bali (Majelis Utama Desa Pakraman/MUDP), di Kabupaten/Kota (Majelis Madia Desa Pakraman/MMDP), dan di Kecamatan se-Provinsi Bali (Majelis Alit Desa Pakraman/MADP).
Pasamuhan Agung I Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang dilaksanakan tahun 2006 telah menyepakati dan memutuskan bahwa MDP Bali di berbagai jenjang sebagai lembaga pemutus perkara adat murni, dan keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali terkait dengan perkara adat murni merupakan keputusan final. Adapun yang dimaksud ”perkara adat murni” dalam hal ini adalah perkara yang muncul karena sengketa adat atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta), yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, yang tidak termasuk sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut hukum negara. Perkara adat murni inilah dalam hukum adat Bali dinamakan wicara. Untuk memudahkan dalam menyelesaikan wicara, tahun 2011 MUDP Provinsi Bali mengeluarkan Keputusan MUDP Bali Nomor: 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali.