SOCIAL CONFLICTS AND LOCAL LIFE REPOSITION
29/06/2020 Views : 17951
GDE MADE SWARDHANA
Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin Confligere yang berarti saling memukul. “Con” berarti bersama, dan “fligere” berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi, perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut cirri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individu dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Dalam International Encyclopaedia of the social sciences vol. 3 (hlm. 236-241) diuraikan mengenai konflik dari segi anthropologis, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu.
Sementara itu, konflik sosial bisa diartikan menjadi dua hal. Pertama, perspektif atau sudut pandang yang manganggap konflik selalu ada dan mewarani segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial. Kedua, konflik sosial merupakan pertikaian terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan, dan gerakan perlawanan. Soerjono Soekanto menyebutkan konflik sebagai pertentangan atau pertikaian, yaitu suatu proses individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.
Para teoritisi konflik banyak berpdedoman padaa pemikiran Karl Marx, meskipun memiliki pemikiran sendiri yang berlainan. Tokoh-tokoh teoritisi konflik diantaranya Ralf Dahrendorf dan Randall Collins. Dahrendorf berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yaitu konflik dan consensus, sehingga secara teori sosiologis harus dibagi menjadi dua bagian, teori konflik dan teori consensus. Dahrendorf juga mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa consensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tokoh lainnya Collins, menjelaskan bahwa konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial sehingga tidak menganggap konflik itu baik buruk. Collins memandang setiap orang memiliki sifat sosial tetapi juga mudah konflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik bisa terjadi dalam hubungan sosial karena penggunaan kekerasan oleh seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulannya. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, jadi benturan mungkin terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
Undang-undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial memberi pengertian bahwa Konflik Sosial, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.
”Berbeda”, ”Bersengketa”, dan ”Berkonflik” adalah tiga situasi yang harus dipahami perbedaannya satu sama lain. ”Berbeda” adalah situasi alamiah yang merupakan kodrat manusia. ”Bersengketa” terjadi apabila dua orang atau dua kelompok (bisa lebih) bersaing satu sama lain untuk mengakui (hak atas) suatu benda atau kedudukan yang sama. Sedangkan ”Berkonflik” adalah suatu situasi di mana seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukan praktek-praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan.
Asumsi Dasar Tentang Konflik
Ada lima asumsi dasar tentang konflik. Asumsi dasar ini biasanya dijadikan landasan untuk pengembangan dan penelusuran teori, atau sebagai orientasi dalam melihat konflik.
Asumsi dasar yang pertama, ”konflik itu selalu ada dalam kehidupan manusia”. Asumsi dasar ini bertitik tolak dari fakta bahwa sejak awal manusia memang dilahirkan berbeda, tidak ada manusia yang identitas fisiknya sama persis, indikasinya dapat dilihat dari sidik jarinya. Perbedaan adalah sesuatu yang alami. Namun ketidakmampuan untuk menghadapi perbedaan, serta kebiasaan untuk lari dari masalah atau agresif menghadapi perbedaanlah yang menimbulkan persengketaan (dispute).
Asumsi dasar kedua, menyatakan bahwa konflik dapat dianalogikan dengan ”drama”. Setiap drama selalu membutuhkan aktor, panggung dan skenario, begitu juga konflik. Untuk memahami konflik yang analog dengan drama, maka perlu dijabarkan siapa-siapa aktor yang terlibat dalam konflik.
Asumsi dasar ketiga, menyatakan bahwa konflik selalu mempunyai dua sisi, menciptakan perubahan dan dipengaruhi budaya. Secara inheren konflik membawa potensi resiko dan potensi manfaat. Dalam kaitan dengan perubahan, pada dasarnya konflik merupakan salah satu cara bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah. Konflik juga dapat mengubah pemahaman kita akan sesama dan mendorong kita untuk memobilisasi sumber daya dengan cara-cara baru. Konflik membawa kita pada klarifikasi pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya. Pada akhirnya dalam kaitan dengan budaya, dapat dinyatakan bahwa cara seseorang bereaksi dan aturan budaya dapat membawa kita pada konflik.
Asumsi dasar keempat, konflik dipengaruhi pola-pola emosi, kepribadian dan budaya. Konflik mengikuti gaya kepribadian seseorang. Reaksi psikologis (melamun, melawan, dingin/diam) berperan sangat kuat dalam
mempengaruhi proses konflik. Budaya juga ikut membentuk aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik.
Asumsi dasar kelima, merujuk kepada fenomena konflik antar komunitas, umumnya pada konflik yang melibatkan masyarakat di satu sisi dan negara di sisi lain, maka dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya fenomena konflik dapat dianalogikan dengan kebakaran pada suatu hutan yang gundul. Dengan api yang kecil, rumput dan pohon yang sudah kering dengan cepat sekali terbakar, meluas, terlebih-lebih apabila ada angin panas yang kencang, maka kebakaran menjadi tidak terperikan dahsyatnya.
Hal ini juga berlaku bagi konflik. Unsur-unsur dasar suatu hutan gundul yang terbakar adalah unsur rumput dan pohon kering, unsur api, serta unsur angin. Unsur-unsur inilah yang akan dianalogikan dengan dasar
terjadinya suatu konflik.
Reposisi kearifan lokal
Di bawah ini dikemukakan mengenai kearifan lokal masyarakat Bali yang secara turun temurun diakui sebagai pegangan di dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, antara lain Tri Hita Karana, Sekeha Teruna Teruni, Karmaphala, Panca Yadnya, Tri Kaya Parisudha, dan lain-lain.
Mengenai konsepsi Tri Hita Karana tidak akan dijelaskan secara detil di sini, yang perlu adalah bagaimana konsepsi itu ada, mungkin dimengerti, dan sifat penerapannya, dari masa ke masa. Seperti umum dimengerti bahwa konsepsi Tri Hita Karana adalah sebuah konsep filosofis mengenai persepsi masyarakat Bali tentang kehidupan manusia, dan hubungannya dengan yang lain. Dimengerti bahwa Tri Hita Karana mengandung konsep bahwa untuk dapat hidup sejahtera, maka manusia perlu melakukan hubungan seimbang dengan: (1) sesama, (2) dengan Tuhan, dan (3) dengan alam. Ketiga hubungan itu secara filosofis dimengerti sebagai hubungan keseimbangan antara: manusia-manusia, manusia-Tuhan, dan manusia dengan alam, yang di dalam praktek kehidupan digambarkan dengan wujud tiga elemen: Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Bentuk hubungan yang saling memperhatikan, atau melindungi satu sama lain, akan membuat manusia hidup damai, sejahtera di dunia dan akhirat.(***)