A Flashback to Backyard Farming

27/08/2020 Views : 239

I Made Saka Wijaya

Bentuk struktur pekarangan di Bali sejak lama telah tertata dengan baik berlandaskan tradisi dan filosofis kehidupan masyarakat Bali yang sangat dekat dengan alam. Namun, tingginya tekanan terhadap eksistensi pekarangan akibat meningkatnya jumlah penduduk dan perubahan paradigma masyarakat menyebabkan terjadinya pergeseran pada struktur dan pengelolaan pekarangan.


Pekarangan di Bali jika dicermati pada esensinya  memiliki kesamaan alur filsafaati pada berbagai perbedaan tipologi hunian perkotaan atau perdesaan. Keberadaan pekarangan saat ini telah mengalami pergeseran sesuai dengan tingkat perkembangan penduduk, ekonomi, dan perubahan tata guna lahan. Masyarakat Bali membagi perumahan menjadi tiga bagian yaitu Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Di bagian Utama Mandala terdapat tempat suci, sanggah atau pamerajan dan natar atau pekarangan pamerajan. Di Madya Mandala terdapat rumah dengan jajaran sesuai fungsi rumah yang dibangun dengan  “natah” pekarangan yang ditanami tanaman tertentu. Di bagian Nista Mandala terdapat  bangunan kandang, tanaman keras dan sebagainya. Penampilan fisik dan ruang pekarangan sangat beranekaragam tergantung dari tradisi atau kearifan budaya setempat. Berdasarkan tata letak  dan ruang pekarangan, sesungguhnya pekarangan memiliki manfaat ganda dan sekaligus dapat berfungsi sebagai  upaya untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga.


Sang Hyang Kama Ratih, bunga pada manusia yang menyebarkan rasa cinta pada bunga, bunga menebarkan bau harum, semua manusia menyenangi bau harum ”miyik ngalub”.  Pada lontar Sundarigama terdapat istilah: Rencemi Sang Hyang Premana, setiap berusaha harus berdasarkan dharma. Kehidupan di rumah tangga diharapkan mampu mengembalikan fungsi pekarangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mereka yang ada di pekarangan rumah itulah yang dapat mengharumkan rumah tangganya. Ketika bagian ”nista mandala” belum tergerus oleh aktivitas alih fungsi lahan, pekarangan belakang ini memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Setiap rumah tangga memelihara babi sebagai ”tatakan banyu”  dan ”celengan”. Pepohonan buah-buahan yang tinggi di pekarangan belakang selain memberikan kesejukan sebagai paru-paru pekarangan rumah, juga menghasilkan buah-buahan untuk dipergunakan sebagai sarana upakara dan tentunya untuk dikonsumsi. Habitasi pepohonan di pekarangan belakang rumah juga merupakan wahana konservasi plasma nutfah flora dan fauna lokal yang sangat indah dan multiguna. Saat ini ketika daya tampung Bali melebihi kapasitasnya, semua ceritera tadi hanyalah kenangan belaka, jarum sejarah tak dapat diputar balik kembali. Yang perlu dipikirkan dan dicermati akankah bagian ”nista mandala” dari wilayah perdesaan, persubakan, tempat suci, dan sebagainya akan mengalami degradasi serupa (Saka Wijaya  |  TRENA Newsletter  edisi 9  |  April 2020).