Kapan Bisa Punya Rumah Sendiri? Mimpi Dambaan Pasangan Muda Bali di Denpasar

30/06/2020 Views : 397

I Wayan Yuda Manik

Kota Denpasar berikut wilayah Denpasar, Tabanan, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali telah “menarik” banyak kaum urban dari pedesaan untuk meninggalkan kampung halamannya dan mengadu nasibnya ke kota. Tak pelak lagi, hal ini meningkatkan permintaan untuk tinggal pada suatu hunian yang ideal terutama bagi pasangan muda Bali di kota besar seperti Denpasar. Bagi kaum urban asal Bali di Denpasar, memiliki dua rumah, satu di kampung dan satu lagi di rantauan, merupakan sebuah idaman yang cukup sulit untuk diwujudkan. Demikian pula halnya bagi pasangan muda yang memiliki “kampung” di Kota Denpasar, tinggal di rumah inti milik orang tua barangkali hanyalah merupakan opsi kedua setelah keinginan utama untuk tinggal dan memiliki rumah sendiri. Dari sini muncul istilah yang cukup akrab didengar warga Bali di Kota Denpasar, yaitu kubon, suatu hunian yang dimiliki oleh pasangan termasuk pasangan muda Bali. Hal ini dibedakan dengan umah lingsir, suatu istilah untuk rumah pokok/inti yang umumnya merupakan milik orang tua dari pasangan muda. Bagi kaum urban asal Bali yang baru menikah dan belum dikarunia keturunan, tinggal di kampung dan bekerja di kota dalam jarak belasan hingga puluhan kilometer adalah opsi yang memungkinkan untuk dilalui dalam keseharian namun tidak demikian halnya bagi mereka yang telah memiliki anak. Muncul kemudian istilah ngajag, suatu padanan dari istilah commute, yang bermakna bepergian. Peristiwa commute untuk keperluan bekerja sudah jamak dilakoni para pasangan muda yang memilih untuk tetap tinggal di kampung dan bertugas di kota-kota besar Bali, terutama Denpasar dan Badung Selatan yang umumnya merupakan kawasan dominan tempat bekerja di Provinsi Bali.

Daya tarik kota yang menawarkan beragam pekerjaan berdasarkan bekal pendidikan yang dimiliki oleh pasangan muda dipandang sebagai suatu gaya hidup yang relatif baru dibandingkan dengan lapangan kerja yang tersedia di wilayah pedesaan yang umumnya bertani, berladang, serta buruh bangunan. Hal ini memicu adanya daya dorong bagi pasangan muda untuk mengadu nasib merantau ke kota. Beragam permasalahan yang kemudian timbul di kota adalah proses perencanaan dan pembangunan yang kurang selaras dengan laju perkembangan kota tersebut, terutama dalam aspek penyediaan rumah yang layak bagi penduduknya. Berbagai kendala dalam penyelenggaraan perumahan yang muncul diantaranya adalah harga lahan yang mahal serta jarak tempuh menuju tempat bekerja maupun sekolah anak yang cukup jauh. Kendala harga dan jarak ini cukup mempengaruhi kaum urban terutama pasangan muda warga Bali untuk dapat memiliki rumah yang layak di Kota Denpasar.

Ketersediaan rumah bersubsidi yang layak secara ekonomi di kawasan Sarbagita sangat minim jika tidak boleh dikatakan tidak ada. Jika dulu istilah perumahan yang disubsidi pemerintah ini disebut sebagai perumahan nasional dan diselenggarakan oleh BUMN Perum Perumnas maka sekarang sudah berganti istilah menjadi Rumah FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang diselenggarakan oleh PPDPP (Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan) dibawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) dengan pengelolaan keuangan BLU (Badan Layanan Umum). Program rumah murah ini diadakan di seluruh Provinsi wilayah NKRI, sedangkan khusus untuk Bali, hanya dibangun di empat kabupaten, yakni Buleleng, Jembrana, Karangasem, dan Tabanan. Menurut REI Bali, pada wilayah kabupaten lainnya di Bali, program ini tidak dapat dilaksanakan karena mendapatkan tantangan berat berupa harga lahan yang tinggi sehingga tidak layak dalam pembiayaan. Bahkan agar dapat menekan harga lahan, perumahan subsidi di wilayah Tabanan bagian Barat terletak hanya 2 km dari TPA (Tempat Pemrosesan Sampah Akhir) Mandung. Sering muncul keluhan berupa bau dan asap kebakaran TPA dari penduduk yang tinggal di perumahan ini, suatu kondisi yang sebenarnya sudah jelas tidak layak untuk dihuni. Belum lagi, sebagian penghuninya ternyata adalah warga yang bekerja di wilayah perkotaan Sarbagita. Beban biaya transportasi, kelelahan, dan faktor risiko bepergian yang harus ditanggung pasangan muda Bali menjadi semakin sulit didekati nominalnya serta cenderung menjadi kontra produktif. Jarak perumahan ini menuju pusat Kota Tabanan adalah sejauh kira-kira 6 km dan tambahan 20 km lagi untuk dapat mencapai pusat Kota Denpasar.

PPDPP merilis data bahwa backlog (data kekurangan) kepemilikian rumah di Provinsi Bali dengan mengestimasikan bahwa terdapat persentase sekitar 77,31% ruta (rumah tangga) sudah memiliki rumah sendiri, maka didapatkan angka sebesar 241.599 ruta yang belum memiliki rumah berstatus hak milik. Data penduduk berusia 25-34 tahun di Kota Denpasar mengindikasikan bahwa terdapat sekitar 43 ribu pasangan yang dapat digolongkan sebagai pasangan muda. Jika diasumsikan secara linier dengan sekitar 22% yang belum memiliki rumah sesuai data PPDPP diatas maka didapati angka sekitar 9.460 ruta yang belum memiliki rumah milik pribadi di Denpasar. Data backlog kepemilikan rumah dari Satker Dekonsentrasi Sub Bidang Pembiayaan Perumahan Provinsi Bali menyampaikan bahwa pada tahun 2018, sudah terdapat sekitar 1.000an antrian ruta yang siap membayar DP dan cicilan agar bisa mengakses rumah hak milik pribadi di Bali. Pendekatan perhitungan lainnya dapat dilakukan melalui data pengajuan akta perkawinan di Kota Denpasar pada tahun 2018 yang mencapai 3.657 buah, apabila dikalikan dengan 22% maka didapatkan angka 804 ruta dalam setahun saja. Demikian kira-kira pendekatan perhitungan backlog kepemilikan rumah di Bali dan Denpasar.

Kendala yang umumnya dihadapi pasangan muda untuk dapat mengakses perumahan yang layak adalah harga lahan yang relatif mahal terhadap kemampuan ekonomi mereka serta jarak yang jauh dari pusat perekonomian dan lokasi pendidikan anak. Pada skenario pasangan muda dengan penghasilan terendah, UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) Denpasar pada tahun 2020 minimal Rp 2.770.300,00, jika diasumsikan sekitar 30%-nya untuk membiayai KPR (Kredit Pemilikan Rumah) per bulan maka didapati angka cicilan sebesar Rp 831.090,00. Angka yang sangat kecil untuk mencicil sebuah rumah dengan kepemilikan penuh selama 10 tahun di Kota Denpasar mengingat harga sewa kamar kos saja sudah diatas Rp 1.000.000,00 per bulannya. Bagi pasangan muda yang mengandalkan suami atau istri saja yang bekerja, hampir dipastikan tidak akan mungkin memiliki peluang untuk mencicil rumah layak di Kota Denpasar.

Ada solusi menarik yang sebetulnya ditawarkan pemerintah pusat melalui program pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan rumah layak huni bagi masyarakat Bali terutama bagi para pasangan muda Bali. Solusi tersebut adalah program rumah vertikal yang sering disebut sebagai rumah susun. Namun demikian, program ini kurang didukung oleh mereka karena terbentur faktor sosial dan budaya di Bali yang lebih akrab dengan budaya menghuni rumah tapak yang menapak diatas tanah. Hal yang sebetulnya juga memiliki dampak negatif lain yang dapat mempercepat alih fungsi lahan. Perumahan yang kurang layak huni dan diadakan secara privat umumnya dapat mengarah pada suatu kondisi yang kurang tertata dengan sanitasi minim sehingga seringkali dapat menjadi terkesan kumuh.  

Selain hak milik, pasangan muda Bali di Denpasar dapat bernaung pada hunian layak huni dengan cara sewa/kontrak rumah atau hunian tipe studio yang sering disebut sebagai kos serta tinggal dengan orang tua/kerabat mereka. Namun ini adalah opsi kedua dan ketiga yang ada dalam benak mereka. Kembali lagi ke kata kunci idaman pada judul diatas. Jika penghasilan yang secara rutin tiap bulannya terpotong untuk membayar sewa/kontrak dialihkan menjadi cicilan rumah, tentunya dalam benak mereka akan jauh lebih prospektif dan “aman” kedepannya. Suatu rumah yang ideal sudah tentu akan terkait dengan perencanaan dan penataan kota yang juga ideal, terjadi peningkatan taraf hidup dan produktivitas untuk mewujudkan kota yang kompak. Pemerintah pusat dan daerah secara kolaboratif harus dapat segera mempercepat inisiasi penyelenggaraan hunian yang sesuai bagi pasangan muda Bali. Jadi, kapan pasangan muda Bali di Denpasar akan bisa memiliki rumah hak milik? Pada saat situasi pandemi dan kontraksi ekonomi dunia yang sedang minus inilah saat yang tepat untuk menjalankan program nasional penyelenggaran perumahan layak huni di Kota Denpasar. Mumpung harga lahan yang dulunya sulit dijangkau namun sekarang sudah menyandang istilah dijual cepat harga covid, barangkali mimpi idaman ribuan backlogger rumah yang didominasi pasangan muda di Bali mungkin dapat menjadi nyata. “Bola” ada pada pemerintah melalui PPDPP-nya.