DISCOVER TIMBRAH .....antara Guling Siu dan Umah Bali
30/06/2020 Views : 457
NI MADE SWANENDRI
DISCOVER TIMBRAH .....antara Guling Siu dan Umah Bali
Ni Made Swanendri, Universitas Udayana
Jika ada pertanyaan tentang keberadaan desa tradisional
atau Bali Aga/Bali Mula yang ada di Kabupaten Karangasem, nama Desa
Tenganan Pengringsingan pasti akan menduduki tempat teratas dari jawabannya.
Desa ini memang sudah sangat terkenal ke seantero nusantara dan bahkan manca
negara sebagai desa Bali Mula dengan berbagai keunikan diantaranya
ritual mekare-kare, tenun geringsing yang dibuat dengan teknik dobel ikat,
serta tatanan ruang desa dan pola rumahnya yang distingtif. Selain Desa Tenganan,
Kabupaten Karangasem masih memiliki sejumlah desa tradisional yang dapat digolongkan
sebagai desa bali mula, yaitu: Desa Bungaya, Desa Asak, Desa Timbrah,
Desa Perasi dan Desa Bugbug. Desa-desa ini juga menyimpan berbagai tradisi yang
unik dan ajeg, walau pada beberapa bagian ada juga yang memudar tergerus arus
modernitas dan perubahan gaya hidup.
Kali ini penulis akan mengajak pembaca untuk menelusuri
Desa Timbrah yang terkenal dengan aci usaba sumbu yang diselengarakan
setahun sekali saat sasih kasa (tilem). Walau digelar setiap tahun, rangkaian
aci usaba sumbu di Timbrah yang biasanya berlangsung selama satu minggu
dan terbagi dalam dua tahap yaitu usaba sumbu kaja dan usaba sumbu kelod
selalu menyedot perhatian karena ada beberapa tradisi unik dalam rangkaian
upacara dimaksud. Selain sarana upacara utama yang berupa sumbu (tiang
lurus dari bambu setinggi 15-25 meter yang dihiasi berbagai sarana upakara
berupa jajan, reringgitan, hasil bumi, dll), dalam satu bagian upacara usaba
sumbu kaja yang digelar di Pura Panti Kaler, sebagain besar rumah tangga
yang ada di Timbrah menghaturkan persembahan babi guling sehingga tidaklah
mengherankan jika jumlah persembahan babi guling yang berjejer di asagan/pelataran
dan halaman pura mencapai ratusan bahkan tidak jarang menyentuh angka seribu. Inilah
kenapa usaba sumbu di Timbrah dikenal dengan sebutan guling siu
(seribu babi guling). Selain itu, rangkaian ngusaba yang banyak menarik perhatian
khalayak termasuk wisatawan domestik dan manca negara adalah saat digelar
ritual mebiasa dan tradisi mebarang. Mebiasa adalah sebuah
prosesi dimana jempana (sebagai linggih Ida Bhatara) dengan
diiringi prawayah, prabagus, klian daha, taksu dan pemuka masyarakat
lainnya mengelilingi pusat desa sebanyak 3 kali. Mebiasa ini kemudian
dilanjutkan dengan tradisi mebarang yaitu memperebutkan jempana
dengan cara saling tarik menarik antara teruna adat dengan krama di bale
panjang.
Sebagai suatu aktivitas, ekistensi dari tradisi ini memerlukan
dukungan dari wadahnya, yaitu eksistensi dari pusat desa sebagai ruang komunal
desa yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas komunal utama seperti Bale
Agung, Bale Pauman, Pura Panti Kaler, Pura Panti Tengah, Pura Wayah dan
sebagainya. Ruang-ruang ini memegang peranan penting dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat baik dalam fungsi sakral maupun profan. Sebagian besar dari area ini
bersifat terbuka dan fasilitas yang ada berjajar sesuai dengan aksis utama yang
membujur utara-selatan dan menjadi inti dari pola spasial desa ini. Akses atau
gang yang menuju ke rumah-rumah warga melintang timur – barat atau berposisi
tegak lurus terhadap pusat desa dan akses utama ini. Secara grafis, susunan
antara pusat desa/akses utama dengan gang-gang menuju perumahan membentuk suatu
susunan yang harmonis.
Lebih jauh menelusuri bagian perumahan di desa ini,
kita akan dihadapkan pada suatu pemandangan yang mungkin jarang ditemui di desa
lainnya. Akses menuju karang paumahan adalah gang-gang sempit dengan
lebar kurang dari satu meter dan setiap gang hanya menjadi akses bagi
rumah-rumah yang bederet di sebelah utaranya, jadi dalam satu gang tidak ada
rumah yang berhadap-hadapan. Kondisi ini bertolak dari tradisi bahwa masuk ke karang
paumahan harus dari sisi kelod kauh atau barat daya, walau
kondisi yang berbeda dapat ditemukan pada area-area pengembangan (perumahan)
baru. Luas dari masing-masin karang paumahan yang ada di desa ini
cenderung sempit, yaitu berkisar dua are. Jika diperhatikan secara lebih detail
bagian atap bangunan yang bersisian dengan gang ada yang ngungkul (melewati
batas) ke gang. Sesuai dengan dresta
yang berlaku di desa ini, atap bangunan yang berada disisi timur diperbolehkan ngungkul
ke karang yang ada di hulunya (di sebelah timurnya), namun tidak
sebaliknya.
Berbeda dengan keajegan tradisi keagamaan dan adat yang
sangat khas dan unik serta didukung oleh eksistensi ruang-ruang komunal,
mencari jejak keberadaan umah bali –begitu sebutan masyarakat setempat untuk
rumah dengan tatanan tradisional- tidaklah semudah mengikuti atau menyaksikan tradisi
guling siu. Penelusuran dari rumah ke rumah hanya mendapati beberapa karang
paumahan yang di dalamnya masih terdapat satu atau dua bagian bangunannya
yang berupa umah bali. Umumnya bagian
bangunan yang masih bertahan adalah bale dangin/bale gede dan meten.
Kebutuhan ruang yang meningkat, perubahan gaya hidup, sempitnya area karang
paumahan serta fleksibilitas pemanfaatan ruang untuk kegiatan upakara
di tingkat paumahan telah mendorong penghuni untuk merubah bentuk dan
tampilan rumahnya dengan style kekinian ketika ada kesempatan dan
ketersediaan biaya. Jadi bertahannya beberapa umah bali tersebut sepertinya
akan runtuh ketika kesempatan untuk melakukan renovasi itu tiba. Kurangnya pengetahuan dan ketiadaan tenaga
ahli setempat semakin memudarkan jejak fisik dari tradisi bermukim di desa bali
mula ini. Semakin memudarnya umah bali pada desa bali mula ini
nampaknya belum menarik perhatian para pemangku kebijakan setempat untuk mengadakan
insentif khusus bagi penyelamatannya.
Dengan mengangkat ‘Discover
Timbrah’ yang merujuk pada 'Discover Indonesia' sebagai satu program promosi
pariwisata Indonesia dan juga 'Discover Karangasem' yang pada Tahun 2019
diluncurkan oleh Pemkab Karangasem sebagai program tahunan untuk lebih mempromosikan
potensi-potensi pariwisata Karangasem yang belakangan digencarkan dengan destination
branding “Karangasem, The Spirit of Bali”, penulis ingin menekankan bahwa pengembangan
wisata budaya pada desa bali mula hendaknya tidak terbatas pada promosi even-even
budaya atau ritual yang sudah ada dan bahkan ajeg, namun benar-benar harus
menggali dan menyertakan bagian lainnya secara komprehensif.