SIMULTANEOUS ELECTION DRAMATURGI AND OPPORTUNISTIC INCUMBENT
26/06/2020 Views : 314
Dodik Ariyanto
DRAMATURGI PILKADA SERENTAK DAN OPPORTUNISTIC INCUMBERNT
Dodik Ariyanto
Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana
Pilkada serentak akan kembali digelar pada tahun 2020. Namun ada yang berbeda dalam penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan yang akan diselenggarakan pada tanggal 23 September 2020. Pilkada untuk memilih kepala daerah dari 270 daerah yang telah direncakan tersebut, akhirnya dimundurkan tanggal penyelanggaraannya, menjadi tanggal 9 Desember 2020 karena imbas dari pandemik Covid-19. Padahal pemerintah juga ingin tetap menjaga satabilitas perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah mempunyai tujuan utama meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan bisa terwujud jika pemerintah berupaya mewujudkan keseimbangan fiscal. Keseimbangan fiscal akan terajadi jika pemerintah mempertahankan kemampuan keuangan negara yang bersumber dari pendapatan pajak dan sumber-sumber lainnya guna memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk belanja negara atau daerah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Salah satu kepentingan masyarakat yang mendapat perhatian adalah pemilihan kepala daerah (pemilukada) serentak sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia.
Pemilukada langsung dan serentak di beberapa daerah Indonesia memberikan beban keuangan sangat besar bagi daerah dan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari beban atau pos anggaran pemilukada yang ditanggung oleh pemerintah yang secara nyata dikeluarkan dari APBD dan APBN. Disamping itu ada pemanfaatan pos lain dalam anggaran yang tidak sesuai peruntukannya untuk kepentingan pemilukada.
Membahas Pemilukada tidak bisa lepas membahas tentang calon kepala daerahnya. Baik itu Incumbent (Petahana) maupun penantang Incumbent. Dibanyak Pemilukada yang telah terselenggara sebelumnya, dalam banyak hal mempresentasikan dramaturgi. Drama yang menggambarkan pemilukada tentang kekuatan keuangan dan masa dari incumbent dan penantangnya untuk menggapai puncuk pimpinan daerah.
Dramaturgi sebagaimana sebuah panggung sandiwara yang dikemukakan Erving Goffman pada tahun 1959. Seperti halnya panggung sandiwara, dunia politik pun memiliki dua sisi yaitu panggung depan (front stage) yang akan menampilkan para politisi melakukan “akting” memerankan perannya masing-masing, guna untuk mendapatkan penilaian dari masyarakat yang menjadi sasarannya. Sebaliknya panggung belakang (back stage) akan menampilkan sifat “asli” mereka seperti perilaku opportunistic.
Panggung sandiwara politikpun bisa disebut dramaturgi. Itupun bisa dilihat dari permasalahan penggunaan APBD. Dimana Incumbent memiliki peluang besar dalam pos-pos belanja pada APBD untuk kepentingan politiknya dalam hal ini untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya. APBD ditujukan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat di daerah memang benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya, program tersebut ditetapkan berdasarkan kepentingan masing-masing pejabat khususnya pihak eksekutif. Dengan kata lain, dengan menggunakan jabatan yang dipegangnya, maka eksekutif berusaha memasukkan kepentingannya dalam penentuan anggaran. Hal inilah yang dinamakan perilaku opportunistic (memanfaatkan kesempatan). Bahasa mudahnya perilaku opportunistic merupakan pemanfaatan kesempatan yang ada, sehubungan dengan jabatan yang dipegang untuk mewujudkan kepentingannya.
Berbagai modus perilaku opportunistic sering terjadi seperti menetapkan alokasi anggaran yang dimodifikasi untuk memenuhi kepentingan politik dan kepentingan individu. Cara umum yang dilakukan adalah memasukkan usulan proyek-proyek besar yang menguntungkan salah satu pihak dalam perencanaan anggaran. Cara lainnya adalah sikap cenderung lebih memperjuangkan realisasi penetapan anggaran atas proyek-proyek yang mudah dikorupsi dengan harapan mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar yang dibiayai APBD.
APBD diajukan oleh pemerintah daerah melalui persetujuan DPRD. Jika ditilik di Akuntansi Sektor Publik, hubungan keduanya dapat dijelaskan dengan teori keagenan. Teori keagenan memberi lentera memperjelas hubungan antara legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif sebagai agen. Prinsip utama teori keagenan adalah Nexus of contract. Teori ini menyatakan hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (principle) yaitu masyarakat atau rakyat dan DPRD (sebagai wakil rakyat) dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu kepala daerah dan DPRD, dalam bentuk kontrak kerja sama. Agency theory merupakan sinergi dari teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Implikasi dasar dari penerapan agency theory adalah perilaku efisiensi ataukah perilaku oportunistik bagi agen (penerima wewenang).
Masyarakat terpelajar sebagai juri, calon kepala daerah dan DPRD sebagai aktor harus berani bertanya ke nurani tentang inti pemilukada. Tujuan pemilukada adalah memilih pemimpin yang bisa mensejaterakan rakyat dan membawa keadilan. DPRD sebagai wakil tangan “Tuhan” (wakil rakyat) untuk mengendalikan kepala daerah dan menjewernya bila perlu. Hal ini diperlukan agar bupati, walikota, gurbenur yang telah dipilih rakyat tidak melupakan tujuan utama adanya pemerintah daerah.