KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI KUNO DALAM MENGHADAPI WABAH
30/07/2020 Views : 1000
NI KETUT PUJI ASTITI LAKSMI
Wabah menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas (seperti wabah cacar, disentri, kolera); epidemi. Wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Apakah wabah dapat dikatakan sebagai bencana? Jawabnnya adalah Ya Bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya.
Wabah pada masa Bali Kuno.
Apakah masyarakat Bali Kuno sudah mengenal wabah?
Secara tegas memang tidak ditemukan data yang menunjung ke arah tersebut, tetapi kalau indikasi terjadinya bencana (bencana karena faktor alam, karena ulah manusia, ataupun penyakit) dapat ditemukan, yakni :
1. Ditemukan istilah wastwasambhawotpāta
Hampir semua prasasti dari masa pemerintahan raja Jayapangus menyebut istilah wastwasambhawotpāta, salah satu nya adalah prasasti Bwahan E (1103 Śaka/1181 Masehi) lempeng IVb baris 4. Berdasarkan morfologinya istilah tersebut dapat diartikan sebagai, kejadian atau hal-hal ajaib yang diyakini oleh masyarakat sebagai pratanda atau sumber malapetaka. Kejadian-kejadian ajaib itu antara lain berupa orang manak salah (melahirkan anak cacat atau tidak normal), lahirnya binatang cacat atau dengan bentuk tubuh ajaib, gempa bumi, dan pohon pisang bercabang. Kepercayaan seperti ini masih melekat dalam pikiran beberapa orang di suatu masyarakat.
2. Penurunan Jumlah Penduduk yang relatif drastis.
Penurunan jumlah penduduk yang relatif drastis ditemukan di dalam Prasasti Bila yang kini tersimpan di Desa Bila, Kecamatan Kubu Tambahan Kabupaten Buleleng (no.inv. 353A). Prasasti ini berangka tahun 945 Ṡaka (1023 M), dan dikeluarkan oleh raja Marakata. Pada bagian sambandha (sebab-sebab dikeluarkan prasasti) dapat diketahui bahwa karaman i Bila yang jumlah warganya semula 50 kepala keluarga (kuṛn) lama kelamaan hanya tersisa 10 kepala keluarga, sehingga menyebabkan penduduk desa merasa berat memenuhi kewajibannya berupa pajak dan buncang haji (kewajiban yang berhubungan dengan pekerjaan/kerja bakti untuk raja) dan kewajiban lainnya yang harus dibayar setiap tahunnya, seperti tertulis pada kutipan sebagai berikut:
“sambandha mājarakě paraspara ni hambanya sakarāman mula 50 kuṛn kweḥnya nguni ring muhun malama, maśeśa ta ya 10 kuṛn, kunang sangkā ri kabyětanya ring dṛwya haji, mwang buñcang haji magöngadmět, tka ring pinta palaku pamli, pikupikulan, nganiweḥ, yathānya mengta i sapanahuranya dṛwya haji angkěn tahun”.
Pada prasasti Julah=Sembiran AIII (no.inv. 351), berangka tahun 938 Ṡaka (1016 Masehi), dikeluarkan oleh Sang Ratu Ājñādewi terjadi penurunan jumlah penduduk yg juga sangat drastis. Desa Julah yang penduduknya semula 300 kepala keluarga (kuṛn) sebagian besar meninggalkan desanya dan akhirnya yang bertahan hanya 50 kepala keluarga, seperti terlihat dalam kutipan prasasti berikut ini:
“mañambaḥ di sang ratu ṡrī sangājñādewi makahetu makatahwang rām paraspara uraña habanwa māti me tyaban musuḥ nguniweḥ lwas majĕngan di banwa johan kawkas ta ya kuṛn 50 ghyāni mūla kuṛn 300 kunang sangkā ri tani praḥ misinin to drabyahajiña sḍangña paripūrṇna tkā di halyun buñcang haji saprakāra
3. Masyarakat mengungsi atau meninggalkan wilayahnya
Pada Prasasti Bulian B (no.inv. 706), 1172 Ṡaka (1250 Masehi), dikeluarkan oleh Raja Hyang Ning Hyang Adidewalancana disebutkan bahwa Desa Kawista terbengkalai, banyak ditumbuhi oleh kayu besar seperti layaknya hutan karena telah ditinggal oleh penduduknya ke desa lain. Bahkan desa ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat sehingga membuat orang-orang yang lalu lalang menjadi takut. Sehingga raja memberikan bekas Desa Kawista beserta sawah ladangnya kepada karaman i Bulian, seperti tampak pada kutipan prasasti berikut:
”manĕmbaḥ i sira lbuni pāduka bhaṭara parameṡwara ṡri hyaŋ niŋ hyaṅ adidewa lañcana raṣā marahakĕn nikaŋ deṡa riŋ kawiṣṭa, lawas tiniṅgali wwaŋnya luṅha ḷsḷsan mareŋ thani salen, ya tanalasan katuwuhan kayụ magĕŋ uṅgwani saŋ durjana rampak boniŋ carahan cumidraḥ aṅadaṅanawan walatuṅi wwaṅaŋ laṅu tawa, wiryya ṅulwan aṅawetan, ṅuniweḥ ikaŋ wwaŋ madalan asuŋsuŋ, asasi(pta) pwa sira lbu ni pāduka bhaṭara, suṅ aŋsipta raṣa ni manĕmbaḥ nikaŋ karāman, answabhāwa nira prabhu cakra wṛtti rājādhirāja, ṡekarājya rāja lakṣmi, pinakā chatra niŋ bhuwaṇa, satuṅkĕbalwidwipamaṇḍala, mataŋnyan winidhi winiṡeṣa nira bhaṭara, sakwaiḥ lagan sawaḥ riŋ kawiṣṭa dinadyakĕn inalap thāninya tke sawaḥnya, winehakĕn irikaŋ karāman i bulihan”
4. Penyebutan berbagai jenis penyakit
5. Penyebutan profesi “balyan/walyan”
Istilah balyan/walyan sudah ditemukan di dalam prasasti Bali Kuno yang paling tua yaitu prasasti Sukawana AI pada lempeng IIa baris 2, sebagai berikut:“undahagi, rumah lāgad pasar, parsangkha parpadaha balian, pamukul, tangkalik” Di dalam prasasti-prasasti yang ditemukan pada periode yang lebih muda profesi balyan/walyan masih tetap disebut. Besar kemungkinan profesi tersebut memiliki kedudukan dan peranan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat pada masa Bali Kuno, seperti yang tertulis di dalam prasasti Campetan (karaman Pangupetan) berangka tahun 1071 Saka (1149 Masehi) dikeluarkan oleh Raja Jayasakti lempeng Va.1 sbb:
“lawān yan hana kahyangan walyan momah i thāninya tan alapěn angdiryy mwang adlawali i pujung mwang i patatahan, tuhun manahura rot ku 1 angkěn tahun juga ya, wnanga ya mijilasāra ring thāni salěn, tan kna laganing hnu, tan kna pabharu”
Artinya:
Dan apabila ada dukun berumah di desanya (pengupetan) janganlah dipunguti angdiryya dan adlawali di Pujung dan di Patatahan; tetapi haruslah juga membayar rot 1 ku setiap tahunnya, boleh ia keluar memberi pertolongan pada desa lain, janganlah dikenakan laganing hnu, jangan dikenakan pabharu (Poeger, 1964: 34).
6. Penyebutan bermacam-macam jenis tanaman obat
Beberapa jenis tanaman dibudidayakan pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi selain untuk kebutuhan konsumsi sangat mungkin juga dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan, antara lain nyu atau tirisan (kelapa), kemiri (kemiri), kapulaga (kapulaga), bawang bang (bawang merah), kesuna (bawang putih), pipikan (jahe), mulaphala (umbi-umbian lainnya), pucang (pinang), lunak/camalgi (asam), ketumbar (katumbar), mangkudu (wungkudu), sarwaphala (buah-buahan), serta sarwawija/sarwabija (jenis biji-bijian).Begitu pentingnya pembudidayaan tumbuhan-tumbuhan bagi kehidupan masyarakat Bali Kuno seperti terungkap dalam prasasti Dawan pada lembar VIIIb baris 2, Sangsit A atau Blantih A pada lembar VIa, Sembiran A pada lembar Xa baris 4-5. Untuk lebih jelasnya dari petikan prasasti Sangsit A atau Blantih A pada lembar VIa disebutkan sebagai berikut.
(VIa) “yan hana kadurbalanya awuka kunang, teher pinasatyakěnya i suruhanya, tka ri wka wetnya dlāhaning dlāha, lāwan inimbuhanira, sikṣa i tan hananing wehen baryyabaryya molahulaha raparapangalapa salinaranganing anak thāni, kadyangganing sarwwaphala, mûlaphala, makading wnang-wnang tan pañjinga ri jromah, tan paněhěrakna drwya gṛha pariskara, tan panatasa, hatěping bagañjing, mwang pahmān, tan pamabaka salnya, tan gawayakna sakadurbalan ikanang karāman mangkana yan hanāngilwakna sanghyang ajñā haji marāngkana mpungku sthāpaka”… (Santosa, 1965:42).
Artinya :
…..oleh karenanya, tidak ada yang diberikan merusak (bertingkah laku jahat), melakukan perampasan (dan) agar tidak mengambil segala yang dilarang penduduk desa (di Sukhapura), seperti tanaman buah-buahan, umbi-umbian terutama wnangwnang (?)…..
7. Sapatha
Bagaimana Cara Penanganan Wabah Pada Masa Bali Kuno?
Peran Serta Masyarakat
Masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi percaya dan mampu memaknai kekuatan yang tidak tampak maupun yang tampak dalam usahanya menuju pada kehidupan yang lebih baik. Dalam konteks ini mereka telah dapat memaknai gejala atau tanda-tanda alam (sipta) yang menimbulkan pengaruh bagi kehidupan manusia maupun alam itu sendiri. Tanda-tanda alam tersebut ada yang berdampak positif dan ada pula yang berdampak negatif. Terhadap tanda-tanda alam yang berdampak positif tentu tidak menimbulkan permasalahan, justru sebaliknya yang berdampak negatif akan memunculkan permasalahan yang perlu ditangani. Setidaknya dampak itu dapat diminimalisir ataupun jika memungkinkan dinetralisir. Adanya tanda-tanda alam yang berdampak negatif terhadap kehidupan manusia dan perlu dinetralisir dengan cara sbb:
1. Melaksanakan upacara caru prayascitta.
Dalam prasasti Bwahan E tercatat bahwa apabila ada tanda-tanda alam yang akan menimbulkan bahaya besar (wastwasambhawotpata) penduduk desa supaya menyerahkan patikel tanah masing-masing satu kupang tanpa disertai kelengkapan upakara, akan tetapi bila menyebabkan kesusahan (hala) supaya melaksanakan caru pembersihan (caru prayascitta) sesuai dengan kemampuannya berselang satu hari satu malam. Apabila masyarakat tidak mengetahui adanya tanda-tanda bahaya atau lebih atau lebih dahulu diketahui oleh pejabat, mereka akan dikenai denda tamtam masing-masing dua masaka dua kupang. Sebagaimana terlihat dalam kutipan prasastinya Bwahan E (1103 Śaka/1181 Masehi) lempeng IVb baris 4-6 adalah sebagai berikut.
“lāwan yan hana wastwasambhawotpata ti thāninya maweha ya patikêl tanah mā 1 yan ahala puharanya, manghanakna ya caru prayaścitta ekadiwaśa rahina wngi, tan kna dakṣina mwang matan hyang, tan kna sakwaih sajisaji saprakara, ri sdênganya tan wṛuh ri hana nikang wastwasambhawotpata ri thaninya athawa karêhênan kunang dening cakṣu wruh kna ya doṣa tāmtām mā 2 ku 2 saputthāyu”(Callenfels, 1926:43)
“Dan apabila ada waswasambhawotpata di desanya, supaya mereka memberikan patikel tanah 1 masaka, apabila buruk akibatnya, supaya mereka mengadakan caru prayascitta (upacara/ saji-sajian penyucian) sehari penuh yaitu siang-malam, tidak kena daksina dan matan hyang, tidak kena segala saji-sajian selengkapnya, apabila pada waktunya tidak mengetahui tentang adanya wastwasambhawotpata di desanya itu atau lebih dahulu diketahui oleh caksu wruh (pengawas umum), mereka masing-masing kena dosa/denda tamtam 2 masaka dan 2 kupang”.
Tradisi menetralisir kekuatan positif dan negatif masih dipercayai oleh masyarakat Bali hingga pada masa sekarang. Kedua kekuatan tersebut akan selalu ada dan tidak dapat dimusnahkan. Kekuatan tersebut bukan saja terdapat di alam (makrocosmos) tetapi juga di dalam diri manusia (mikrocosmos). Seperti halnya usaha menjaga keseimbangan alam, maka usaha untuk menjaga keseimbangan kekuatan dalam diri manusia juga harus dilakukan. Simbol-simbol yang menggambarkan kedua kekuatan ini banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa sekarang.
2. Kebersamaan Antara Sesama Manusia
Karakteristik masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi, menunjukan adanya kebersamaan antara sesama manusia pada masa tersebut. Hubungan antara sesama manusia dalam satu kelompok terkait dengan aktivitas yang sangat sederhana pun mengakibatkan timbulnya rasa saling memerlukan. Sehingga kebersamaan dalam aktivitas penanganan wabah tidak dapat dihindari, bahkan menjadi karakteristik masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi.
Secara sosiologis, agama dapat dipandang sebagai salah satu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya, yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris dan diyakini serta digunakan dalam upaya mencapai keselamatan bagi penganutnya maupun bagi masyarakat pada umumnya (Astra, 1997: 282). Kelompok-kelompok sosial dapat terbentuk berdasarkan kriteria kesatuan wilayah, mata pencaharian, serta kedudukan dan peranannya dalam kehidupan. Berdasarkan ikatan-ikatan itu terwujudlah identitas yang disertai dengan rasa bangga dan cinta terhadap wilayah dan kelompok sosialnya.
Di dalam kutipan Prasasti Bwahan E (1103 Śaka/1181 Masehi) lempeng IVb baris 4-5 juga menyebut jenis banten yang bernama prayaścitta. Prayaścitta berasal dari kata ‘prayaś’ dan ‘citta’ merupakan kosa kata bahasa sanskerta. Prayaś berarti bahagia atau gembira, sedangkan ‘citta’ berarti alam pikiran yang suci dan netral. Sehingga prayaścitta dapat diartikan sebagai sesajen untuk menyucikan pikiran agar mendapatkan rasa yang lebih bahagia setelah mengalami kesedihan atau malapetaka.
3. Kepedulian terhadap lingkungan alam di sekitarnya
Manusia sudah mengenal lingkungan alam sejak awal kemunculannya di muka bumi. Tanpa mengenal lingkungan dengan baik, manusia tidak akan mampu bertahan hidup. Secara langsung atau tidak langsung manusia bergantung kepada lingkungannya. Pemanfaatan lingkungan alam oleh manusia pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi menimbulkan dampak positif dan negatif. Kearifan pengelolaan lingkungan tidak secara tiba-tiba dapat dipraktekan oleh suatu masyarakat melainkan berkaitan erat dari waktu ke waktu (atita-nagata-wartamana = masa lampau, masa sekarang, dan yang akan datang).
Keputusan Penguasa atau Raja
Keputusan penguasa atau raja dapat diketahui melalui ketetapan-ketetapan di dalam prasasti-prasasti masa Bali Kuno, yang pada dasarnya berisi anugerah kepada desa atau wilayah yang sedang mengalami permasalahan dan memerlukan pemecahan masalah dari
raja atau penguasa yang memiliki kewenangan Keputusan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
- Mengatur Jumlah Penduduk dengan cara mengembalikan penduduk ke daerah asalnya.
Berdasarkan beberapa prasasti salah satunya prasasti Julah (Sembiran) yang telah dikeluarkan sejak pemerintahan Raja Ugrasena dan Raja Janasadhu Warmadewa, diperoleh keterangan pemulangan/pengembalian penduduk ke daerah asalnya. Oleh karena sebagian besar masyarakat Desa Julah pergi meninggalkan wilayah desanya karena adanya gangguan dari pihak luar menyebabkan raja memerintahkan mereka untuk kembali ke desanya bersama keturunannya, seperti tercatat dalam prasasti berikut ini :
“ḍang kryān ser pasar ida kumpi dara dyaḥ ḍamai. mupulang twanak
banwa di julaḥ makapasukuta. halyun to linipĕtang dug sang ratu
sang lumāḥ di bwaḥ rangga. saha twa syuruḥda ya kalipĕtan. maruma
di julaḥ. marang santānan marumaḥ ditu. yānugrahanda ya mabharin
paṇḍakṣayanña. anugrahan sang ratu atītaprabhu. me pirpagĕḥda ya
tani kapunaruktan”
- Mengurangi jumlah pajak/iuran dan juga kewajiaban2 lainnya ditemukan didalam prasasti Bila
- Mendirikan bangunan suci
- Menetapkan aturan baru dll
(Artikel ini sudah pernah diseminarkan dalam webinar "Wabah Penyakit dan Penanganannya Pada Masa Bali Kuno" kerjasama BPCB Bali dengan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI Komda Bali) pada hari Jumat tanggal 29 Mei 2020)