Village Museum, Conservation and Utilization Strategies of Natural and Cultural Heritage in the village

30/07/2020 Views : 615

KRISTIAWAN

Mendengar istilah museum desa sepertinya asing bagi kita, terlebih saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan perubahan museum, baik tampilan, penyajian serta menejemen pengelolaannya. Menilik museum yang dikelola oleh pemerintah memang saat ini tidak habis-habisnya dihujani kritik, seperti sepinya minat pengunjung serta tampilan museum yang terkesan usang dan itu-itu saja. Ada kesan jika museum yang dikelola oleh pemerintah saja sulit berkembang apalagi museum yang dikelola masyarakat desa. Sesungguhnya pelestarian berbasis masyarakat bukanlah hal baru, seringkali kita mendengar bahwa pelestarian warisan budaya berbasis masyarakat diyakini lebih efektif karena mereka adalah pewaris langsung, terkait secara genealogis dan terdapat empati rasa memiliki warisan budaya. Bagaimana jika model pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat ?, apakah lebih baik dan bagaimana cara melatih mereka teknik konservasi warisan budaya yang ideal. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang harus dijawab seiring dengan semakin banyaknya potensi warisan budaya di pedesaan yang belum dikelola maksimal oleh pemerintah.

            Masyarakat mempunyai hak atas warisan budayanya, hal ini dapat dipahami sebagai hubungan antara spirit pelestarian dengan spiritual yang mengikat masyarakat sebagai pewaris atas keberlangsungan warisan budayanya. Ditangan merekalah budaya menjadi utuh dalam satu ikatan antara pewaris dengan obyek warisan budaya, baik warisan budaya benda maupun tak benda seperti halnya adat dan tradisi. Komersialisasi warisan budaya tidak harus menilai warisan budaya sebagai aset bernilai ekonomi dengan cara menjual (transaksional). Menjual warisan budaya terutama artefak memang berdampak ekonomi namun dapat dipastikan kita akan kehilangan identitas kita untuk selamanya. Aksi penjualan cagar budaya seperti yang terjadi pada peninggalan masa kerajaan Majapahit di Trowulan Mojokerto, arca-arca masa klasik yeng menghilang dari database kepurbakalaan di beberapa wilayah, menhir-menhir di Nusa Tenggara Timur serta musnahnya cagar budaya lain akibat aksi vandalisme tentu harus segera diantisipasi.

            Museum desa sejatinya adalah rumah bagi warisan cagar budaya dimana benda tersebut selama ini berada. Tidak jarang satu desa mempunyai potensi warisan budaya yang melimpah, dan tidak berhenti pada satu temuan saja. Semakin lama data temuan warisan budaya akan selalu berkembang, terungkap satu demi satu dan akhirnya terkumpul menjadi kumpulan artefak bernilai sejarah. Bagaimana selanjutnya memperlakukan temuan tersebut, dilaporkan atau dikubur kembali. Dari pilihan tersebut sebenarnya keduanya telah terjadi pada masyarakat. Sebagian besar memang dilaporkan dan jika memungkinkan temuan tersebut akan diamankan oleh unit pelaksana teknis bidang kepurbakalaan (Balai Pelestarian Cagar Budaya) setempat, dengan cara dipindahkan ke museum atau dibuatkan balai pelindung jika temuan tersebut sulit untuk dipindahkan. Tidak jarang masyarakat yang menemukan secara tidak sengaja temuan diduga cagar budaya akan menguburkan kembali. Mereka beranggapan  jika diketahui pemerintah akan merepotkan, menyita waktu dan tidak menguntungkan secara ekonomis. Pada kasus ini pemerintah perlu mensosialisasikan kepada masyarakat terkait temuan cagar budaya oleh masyarakat.

Kemungkinan berkembangnya museum desa di Indonesia sebagai benteng pelestarian budaya dimasa depan bukanlah angan-angan belaka. Beberapa kelompok yang dimotori kaum muda di Kabupaten Mojokerto misalnya, mereka telah bergerak untuk mengumpulkan modal koleksi yang didapat dari masyarakat desa. Sebagian besar masyarakat menyimpan berbagai benda yang sebenarnya mereka tidak paham bentuk fungsi serta maknanya, untuk informasi lebih lengkap memang perlu mengkaji lebih khusus tentang benda-benda tersebut. Atas inisiatif kelompok karang taruna mereka mulai pengumpulan benda-benda pusaka dan mewacanakan terbentuknya museum desa. Tentu hal ini adalah kabar baik yang patut kita apresiasi dan berharap akan menginspirasi kelompok serupa di wilayah desa lain yang lokasinya banyak temuan cagar budayanya.  Museum Desa menawarkan wawasan tentang kehidupan masa lalu masyarakat dari wilayah mereka berada dan tentu memberikan daya tarik wisata dan manfaat ekonomi bagi wilayah tersebut. Museum desa adalah dokumentasi masa lalu sebuah desa dengan berbagai perubahan sosial budayanya. Dokumentasi tersebut akan menggambarkan sejarah desa dari masa ke masa. Dapat di perkirakan jika satu desa mempunyai potensi sejarah budaya dari masa prasejarah, masa klasik Hindu-Budha, kolonial hingga masa revolusi tentu sangat menarik. Barangkali itulah gambaran ideal jika seluruh aspek periodesasi jaman terpenuhi dalam satu wilayah desa.  Tentu memenuhi kriteria tersebut tidaklah mudah, dan tidak semua wilayah mengandung potensi warisan budaya yang lengkap dari masa ke masa.

Potensi koleksi yang sederhana dan menarik untuk disampaikan kepada pengunjung museum desa  adalah penyajian koleksi terkait dengan aktifitas sehari-hari. Aktifitas tersebut dapat berbentuk koleksi perkakas rumah tangga, alat pertanian, perlengkapan pengolahan pangan, atribut dalam upacara adat, dokumentasi foto lama, lukisan dan lain sebagainya. Keberadaan rumah yang mempunyai nilai sejarah juga patut untuk dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai museum rumah bersejarah (historic house museum). Contoh rumah bersejarah tidak harus rumah yang terkait dengan tokoh nasional atau tokoh bersejarah di tingkat regional. Rumah bersejarah dapat dikaitkan dengan sejarah terbentuknya desa, seperti rumah kepala desa pertama, rumah demang, rumah tokoh desa, rumah dukun bayi, dan rumah lain yang mempunyai nilai penting dan didukung gaya serta arsitektur rumah yang masih asli.

Ketika bepergian atau berwisata alasan orang melakukan hal tersebut adalah untuk mencari petualangan, untuk melihat tempat yang berbeda, bertemu dengan orang-orang baru, dan memiliki pengalaman yang berbeda dari rutinitasnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut umumnya masyarakat akan mempertimbangkan jenis-jenis wisata alternatif yang berhubungan dengan alam, seperti beberapa jenis ekowisata, wisata alam, pariwisata pedesaan, agrowisata, desa pariwisata dan sebagainya.

Memasuki era pasar bebas, persaingan bebas juga tidak terkecuali pasar desa. Saat ini,  industri global, termasuk industri pariwisata dalam perkembangannya sudah menyentuh wilayah desa. Pariwisata di desa dapat tumbuh dengan pesat mengingat banyak potensi alam dan budaya yang sejatinya saling mendukung dan melengkapi untuk mewujudkan destinasi wisata yang potensial dan berdampak secara ekonomis. Dengan memanfaatkan potensi alam, potensi cagar budaya, serta tradisi budaya leluhur yang masih berlanjut di desa, melibatkan aspek intelektual, dan manajerial, harapan tersebut niscaya tidak sulit untuk diwujudkan.

Mengawali membentuk museum memang tidak mudah, hal utama yang berat adalah mengumpulkan modal koleksi. Apa sebenarnya modal koleksi, modal koleksi adalah isi atau konten material-non material yang nantinya menjadi obyek pengamatan pengunjung. Berawal  dari modal koleksi kemudian akan berkembang pada strategi perawatannya (konservasi)  termasuk mempertahankan bentuk, warna dan berbagai hal yang melekat pada obyek tersebut.  Selanjutnya menyusun konsep serta teknik penyajiannya. Banyak media yang dapat dipilih untuk menyampaikan sejarah masa lalu kepada pengunjung, seperti pilihan teknologi multimedia yang serba kekinian atau justru memilih media konvensional yang serba tradisional. Masyarakat bebas memilih media tersebut, yang akhirnya menjadi tema dari model teknik penyelenggaraannya. Terkait konservasi, mungkinkah masyarakat melakukan hal tersebut tanpa pengetahuan konservasi ?, tentu tidak mereka memerlukan pelatihan dan pendampingan. Bagi para ahli konservasi koleksi museum tentu hal ini dapat menjadi fokus baru, mendampingi masyarakat agar mampu berdaya merawat koleksinya sendiri. Ada kemungkinan bahwa merawat koleksinya sendiri dengan ikatan emosional (empati) karena rasa memiliki akan menghasilkan perawatan yang maksimal. Tentu hal ini tergantung dari usaha keras para ahli museum mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konservasi diluar dampak ekonomis yang ditimbulkan akibat pariwisata desa. 

 

Lansekap desa sebagai bagian dari Museum Desa

             

Lansekap adalah bentang lahan atau tata ruang luar dengan elemen alami dan elemen buatan yang dapat dinikmati oleh indera kita. Lansekap desa dapat diartikan sebagai komponen keruangan desa yang menggambarkan dinamika fisik baik secara arsitektural maupun vegetasi lingkungan yang menyatu dan dapat kita lihat sebagai potensi alam dan budaya. Lansekap desa banyak dipengaruhi topografi, iklim serta latar belakang matapencaharian hidup. Lansekap masyarakat pesisir tentu berbeda dengan lansekap masyarakat pegunungan yang berpola agraris. Masing-masing mempunyai kelebihan dan potensi yang berbeda, mengikuti karakter bentang lahannya. Bagaimana museum desa memanfaatkan potensi bentang lahan tersebut, serta bagaimana mengemas museum sebagai jendela informasi desa, hal itulah yang patut dirumuskan, mengingat potensi alam dan potensi budaya setiap desa dapat dipastikan berbeda-beda.

Museum yang melibatkan lansekap desa sebagai bagian storyline atau alur cerita koleksi mengingatkan kita pada konsep museum terbuka (open air museum). Menikmati potensi alam dan budaya di desa dengan sajian atraksi budaya asli, kuliner otentik, udara segar, penduduk yang ramah, serta melihat koleksi warisan cagar budaya ditempat asalnya tentu sesnasi yang cukup menarik. Mengunjungi destinasi seperti ini dapat membawa pengunjung memperoleh pengalaman yang berbeda dengan mengunjungi museum pada umumnya. Museum desa memiliki tempat yang penting dalam perkembangan wisata budaya serta cukup signifikan meningkatkan pendapatan sektor pariwisata dan menciptakan lapangan kerja baru. Terwujudnya museum desa dan berhasilnya penyelenggaraan museum desa tentu harus diawali dengan rancangan yang matang dan pengelolaan yang melibatkan semua pihak (stakeholders).