Fungsi Bhoma pada Kuri Agung di Bali
30/07/2020 Views : 1459
I KETUT SETIAWAN
Tersebutlah maharaja raksasa bernama Jalandara. Raja ini ingin menguasai kahyangan, dan untuk maksud itu ia mengutus raksasa Rahu untuk menghancurkan kahyangan. Siapa raksasa Rahu? adalah tidak lain seorang raksasa yang dipenggal kepalanya oleh dewa Wisnu ketika ia menyamar menyerupai wujud dewa pada saat pura dewa sedang membagi tirtha amertha. Ketika tirtha itu diminum oleh raksasa Rahu yang telah berubah wujud, diketahui ooleh dewa Surya dan dewa Candra dan kejadian itu kemudian dilaporkan kepada dewa Wisnu.
Pada saaat itu pula dewa Wisnu melemparkan senjata cakranya ke arah raksasa Rahu sehingga putus lehernya. Kepalanya yang terpenggal tetap hidup karena tirtha itu telah masuk ke mulutnya. Sedangkan tubuhnya jatuh karena tirtha amertha belum sampai di perutunya. Semenjak itu timbulah rasa dendam raksasa Rahu terhadap dewa Surya dan dewa Candra dan selalu berusaha mengejarnya. Raksasa Rahu sangat berambisi untuk menelan habis kedua dewa tersebut. Namun sejenak kemudian yang ditelannya itu keluar lagi karena raksasa Rahu tidak berbadan. Pada saat demikian terjadilah gerhana bulan dan gerhana matahari. Demikianlah seterusnya rasa dendam raksasa Rahu tidak henti-hentinya kepada dewa Surya dan dewa Candra.
Atas kerusuhan yang ditimbulkan leh raksasa Rahu, dewa Siwa menjadi marah. Beliau merasa dihina oleh raksasa Jalandara. Karena marahnya, dan ajna cakranya keluar ledakan yang sangat dasyat dan pada saat itu pula melompat dari sela alis dewa Siwa seorang raksasa dengan wajah yang sangat mengerikan. Makhluk baru itu memakan apa saja yang diperintahkan oleh dewa Siwa, karena ia selalu lapar. Setiap sajian yang disuguhkan senantiasa habis dilahapnya. Mengetahui makhluk yang sangat aneh ini, raksasa Rahu menjadi ketakutan dan lari tunggang langgang minta ampun kepada dewa Siwa.
Permintaan itu dikabulkan oleh dewa Siwa. Selanjutnya makhluk yang baru diciptakan itu menghadapt dewa Siwa dan bertanya. "mana lagi yang mesti hamba makan karena musuh paduka telah tobat?" lalu dewa Siwa memerintahkan untuk makan tubuhnya sendiri. Atas perintah itu kemudian makhluk tersebut mulai makan telapak kakinya, terus kakinya, lutut, paha, tangan, badan, dan akhirnya hanya tersisa mukanya saja. Melihat hal itu dewa Siwa lalu bersabda kepada makhluk tersebut: "hai kamu anakku, mulai saat ini engkau akan termasyur serta berhak tinggal di ambang pintu masuk istanaku. Siapa yang ingin mendapatkan rakhmatku hendaknya mereka terlebih dahulu minta izin dan menghormatimu. Demikianlah maka sejak itu ia tinggal di ambang pintu masuk kuil dewa Siwa.
Ada juga cerita lain yang menyebut pertengkaran antara dewa Brahma dengan dewa Wisnu yang mengaku diri paling sakti. kedua dewa ini bersepakat untuk menguji kekuatan. Rencana pertarungan itu terhenti karena tiba-tiba di tengah-tengah beliau berdua muncul lingga dari bawah tanah yang menjulang ke atas. Kedua dewa itu tersentak dan timbul keinginannya untuk mencari asal (pangkal) dan ujung lingga itu. Dewa Brahma berusaha mencari puncaknya dengan mengubah diri menjadi seekor burung, namun gagal. Sedangkan dewa Wisnu mencari dasar lingga dengan mengubah diri menjadi seekor babi mencungkil bumi mencari pengkalnya. Setelah begitu jauh masuk ke dalam tanah beliau tidak berhasil menjumpai pangkalnya, namun beliau bertemu dengan seorang gadis cantik namanya Dewi Basundari atau Ibu Pertiwi. Dalam keadaan demikian dewa Wisnu lupa dengan diri yang masih berwujud seekor babi. Akhirnya dewi Basundari diperkosa. Pertemuan antara dewa Wisnu dengan dewi Basundari ini melahirkan Bhoma.
Mitologi ini merupakan simbol alam di mana dewa Brahma sebagai sumber panas, dan lahiriahnya diwujudkan dengan api yang selalu berkobar ke atas. Sedangkan air sebagai manifestasi kongkrit dewa Wisinu yang selalu menuju tempat yang rendah atau turun meresap ke dalam bumi. Sebab itulah dilukiskan pertemuan dewa Wisnu dengan Ibu Pertiwi yang melahirkan Bhoma, tidak lain dari simbol pertemuan air dengan tanah yang melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kayu-kayu besar dengan ranting-rantingnya di tengah hutan yang demikian seremnya mengingatkan orang kepada lukisan Bhoma dengan tangan-tangannya yang memegang daun dan bunga-bunga. Suasana inilah rupa-rupanya digambarkan oleh nenek moyang kita berupa Bhoma yang harus dilewati setiap memasuki kori agung. Seperti halnya kayu-kayu dengan ranting-rantingnya menjalar kesana kemari yang harus dilewati kalau ingin menuju ke puncak gunung. Menurut kepercayaan Hindu, bahwa kori agung adalah simbol gunung, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) beserta para dewa dianggap bertahta di puncak gunung. Kalau di halaman dalam (jeroan) dari suatu pura adalah istananya yang berada di puncak gunung, maka kori agung merupakan badan gunung yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Bahkan bangunan-bangunan (pelinggih-pelinggih) yang ada di halaman dalam (jeroan) pura kemungkinan adalah simbol dari puncak-puncak gunung.
Dengan demikian hiasan Bhoma pada kori agung dapat berfungsi sebagai berikut.
a. fungsi simbolis, yaitu sebagai simbul kehidupan yang ada di alam pegunungan.
b. fungsi hiasan, dalam hal ini hanya sebagai hiasan belaka. Jadi penempatan hiasan bhoma pada kori agung akan menambah indahnya bangunan tersebut. Setiap orang selalu menginginkan hal-hal yang indah, karena keindahan akan dapat memberi kepuasan batin kepada orang yang memandangnya.
c. fungsi keagamaan, artinya hiasan bhoma itu berfungsi religius magis. Dengan demikian ia akan berfungsi sebagai penola segala macam bahaya atau bencana yang akan mengganggu tempat suci tersebut. Kalau dihubungkan dengan cerita di atas di mana dewa Siwa memerintahkan untuk tinggal di ambang pintu masuk sebagai penjaga kuil, ini berarti siapa saja yang masuk ke dalam kuil itu hendaknya terlebih dahulu mohon restu atau minta izin kepadanya.
d. fungsi pendidikan, yaitu penempatan bhoma pada kori agung secara tidak langsung akan menuntun manusia untuk berpikir, berbuat, dan berkata yang luhur.
Artikel ini pernah diterbitkan di Koran Bali Post, Hari Minggu, 9 Februari 1986