Some Considerations in Making Force Mejeure Claims in Business Contracts Related to Covid-19 Pandemic Status as National Disasters

25/06/2020 Views : 415

NI PUTU PURWANTI

Presiden Joko Widodo menetapkan wabah Corona yang sedang melanda Indonesia sebagai bencana nasional. Jokowi menetapkan Corona sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) yang ditandatanganinya. Keppres itu bernomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional. Keppres berlaku pada tanggal ditetapkan yakni 13 April 2020. "Menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional," dalam Keppres yang ditandatangani Jokowi. Keppres ini pun menimbulkan polemik terkait dengan legitimasi force majeure. Sejumlah pihak menyebut Keppres ini jadi legitimasi bahwa pandemi COVID-19 adalah force majeure sehingga membuat perjanjian hukum maupun kontrak jadi lebih fleksibel, bahkan bisa batal tanpa denda.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof Mahfud MD, mengatakan bahwa anggapan Keppres 12/2020 sebagai dasar untuk membatalkan kontrak-kontrak keperdataan, terutama kontrak-kontrak bisnis merupakan kekeliruan. Di dalam hukum perjanjian memang ada ketentuan bahwa force majeure bisa dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak. Namun, menurut Mahfud, spekulasi tersebut keliru dan meresahkan, bukan hanya dalam dunia usaha tetapi juga bagi pemerintah.

Force majeure atau keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Dalam hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko dan tidak dapat menduga terjadinya suatu tersebut pada waktu akad perjajian dibuat. Force majeure akibat kejadian tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang diluar kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. 

                    Memang tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya, tetapi didalam hukum perdata memang sudah dijelaskan atau diatur masalah force majeure dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pengaturan didalam Pasal 1245 KUH Perdata mengatakan: “Tidaklah biaya rugi dan dan bunga harus digantikan. Apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja siberutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Dengan jelas dikatakan bahwa tidak ada pergantian biaya kerugian apabila karena keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja dan terhalang untuk berbuat sesuatu. Seperti yang diketahui keadaan memaksa tersebut suatu keadaan yang dimana seorang debitur terhalang melakukan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga sebelumnya, sehingga keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur yang tidak dalam itikat buruk sebelumnya. Yang dimaksudkan keadaan memaksa atau peristiwa yang tidak terduga sehingga menimbulkan akibat yang besar misalnya banjir, gempa bumi, kebakaran, angin topan, peperangan,wabah penyakit, huru hara dan peristiwa lainnya yang dapat memberhentikan kontrak akibat barang yang musnah sehingga pemenuhan tidak dapat dilakukan. 

                    Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, dampak pandemi COVID-19 ini dirasakan oleh para pelaku usaha dalam siklus supply-demmand tidak terkecuali bagi pemberi dan penyedia jasa serta kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu, pengajuan klaim force majeure seyogianya dilakukan dengan semangat untuk bersama-sama memenuhi kewajiban masing-masing pihak dengan cara-cara terbaik.

Pengajuan klaim force majeure sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya jenis perjanjian dan karakter bisnis pelaku. Oleh karena itu, klaim implementasi force majeure dari satu kasus ke kasus yang lain mungkin saja berbeda (case by case basis). Ada beberapa pertimbangan dalam mengajukan klaim force majeure, diantaranya: Pertama, klaim force majeure diajukan dengan iktikad baik dan sesuai tata cara pemberitahuan yang disepakati dalam perjanjian. Para pihak dalam suatu perikatan perlu memahami bahwa asas iktikad baik tidak hanya berlaku pada saat pelaksanaan perjanjian, namun sejak persiapan perjanjian (pre-contract), pelaksanaan perjanjian (during the period of contract), dan penyelesaian sengketa (disputes settlement). Meskipun secara faktual terdampak pandemi COVID-19, pihak yang mengklaim force majeure harus dengan iktikad baik berusaha melakukan hal-hal yang dianggap patut dan wajar untuk tetap melaksanakan kewajiban atau paling tidak melakukan upaya utuk memitigasi risiko tidak terpenuhinya kewajiban berdasarkan perjanjian. Kemudian terkait tata cara pemberitahuan, umumnya ditentukan bahwa pihak yang mengalami/terdampak force majeure harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak lain dalam kurun waktu tertentu sejak dampak tersebut dirasakan.

Kedua, klaim force majeure didasarkan pada rujukan hukum yang tepat. Pihak yang mengajukan klaim harus terlebih dahulu meneliti apakah bencana, pandemi atau tindakan pemerintah pemberlakuan aturan tertentu termasuk ruang lingkup force majeure yang diakomodasi dalam perjanjian. Apabila, klaim force majeure didasarkan pada adanya tindakan pemerintah, pihak yang mengklaim dianjurkan untuk membuktikan bahwa adanya tindakan pemerintah tersebut secara nyata berdampak pada kegiatan/aktivitas bisnisnya. Misalnya, dalam konteks Pembatasan Sosial Bersakala Besar yang diberlakukan di Provinsi DKI Jakarta dan beberapa wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Pihak yang mengklaim harus dapat membuktikan bahwa Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 dan Gubernur Provinsi Jawa Barat melalui Pergub Nomor 27 Tahun 2020 menyebabkan pihak tersebut tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Pihak dimaksud harus meneliti apakah pembatasan aktivitas/kegiatan yang diatur dalam PSBB menghambat pelaksanaan kewajiban dan membuktikannya. Tidak hanya itu, Pihak yang mengklaim harus memperhatikan apakah kegiatan usahanya dikecualikan dari ketentuan PSBB tersebut. Sebagai pendukung argumentasi, pihak yang mengajukan klaim force majeure karena pandemi Covid-19 dapat menggunakan Kepres 12 Tahun 2020 sebagai penetapan pemerintah atas status pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional. Dalam konteks perpajakan, klaim dapat merujuk misalnya pada Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-156/PJ/2020 tahun 2020 tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan dengan Penyebaran Wabah Virus Corona 2019 yang menetapkan penyebaran Covid-19 dari tanggal 14 Maret 2020 sampai dengan 30 April 2020 sebagai keadaan kahar. Pada prinsipnya, Pihak yang mengklaim harus dapat membuktikan secara patut bahwa adanya force majeure berdampak pada pemenuhan kewajiban serta dasar hukum yang sesuai dengan konteks hubungan hukum diantara para pihak.

Ketiga, klaim diajukan dengan maksud untuk merubah perjanjian dan bukan mengakhiri perjanjian. Penting untuk dipahami bahwa klaim adanya force majeure tidak serta merta menggugurkan kewajiban pihak tersebut. Ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata bahkan hanya berkaitan dengan pembebasan atas kewajiban untuk mengganti rugi. Oleh karena itu, pada saat pengajuan klaim force majeure, pihak tersebut seharusnya telah menyiapkan alternatif perubahan perjanjian, misalnya berupa perubahan tenggat waktu pembayaran kredit/pembiayaan, penyesuaian kuantitas, kualitas barang/layanan, milestone kontrak maupun jadwal pelaksanaan layanan (delivery time). Apabila disepakati, perubahan perjanjian tersebut lebih baik dituangkan dalam akta notariil dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian awal.

Keempat, mengutamakan penyelesaian secara musyawarah serta tetap tunduk pada tata cara penyelesaian sengketa yang diatur dalam perjanjian. Dalam melakukan negosiasi perubahan perjanjian, para pihak harus sedapat mungkin mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dan menghindari penyelesaian melalui litigasi. Dalam situasi saat ini, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi tidak hanya memerlukan proses yang panjang tetapi juga kompleks. Dapat dibayangkan, berapa banyak potensi perkara wanprestasi akibat pandemi COVID-19 yang akan diselesaikan di pengadilan terlebih ditengah situasi pembatasan jarak/fisik saat ini.

Dengan demikian,  force majeure memang tidak bisa secara otomatis dijadikan alasan pembatalan kontrak tetapi memang bisa dijadikan pintu masuk untuk bernegosiasi dalam membatalkan atau mengubah isi kontrak. Kontrak harus tetap dilaksanakan sesuai dengan isinya karena menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya. Maka dari itu, para pihak yang ingin membatalkan kontrak harus benar-benar  mempertimbangkan alasan yang tepat agar tidak merugikan pihak lain dengan alasan force majeur.