GIVING ASIMILATION IN THE MIDDLE OF PANDEMI COVID-19 IN THE DENPASAR COMMITMENT INSTITUTION

03/07/2020 Views : 258

GDE MADE SWARDHANA

Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan hingga berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acuter Respiratory Syndrome (SARS). Coronovirus Disease 2019 (Covid-19) adalah p[enyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus Covid-19 ini dinamakan Sars-CoV-19. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian ini menyebutkan bahwa SARS ditarnsmisikan dari kucing luwak ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun hewan yang menjadi sumber penularan Covid-19 ini sampai saat ini belum diketahui.

Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19 antara lain gejala gangguan pernafasan akut seperti deman, batuk, sesak nafas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus  Covid-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernafasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada Sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernafas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrate pneumonia luas di kedua paru-paru

Berdasarkan bukti ilmiah, Covid-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui kontak erat dan droplet, tidak melalui udara (WHO sudah menyatakan penularan dapat melalui udara-cf penulis). Orang yang paling berresiko tertular penyakit ini adalah orang yang  termasuk yang merawat pasien Covid-19. Rekomendasi yang ditawarkan kontak erat dengan pasien Covid-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat siapapun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan sepertri batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi saat berada di fasilitas Kesehatan terutama unit gawat darurat.

Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya terpapar positif Covid-19. Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan sejumlah aturan dan juga kementerian terkait, guna menekan angka penyebaran Covid-19. Baik dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan Menteri Kesehatan, Maklumat Kapolri, yang diikuti juga oleh pemerintah daerah setempat juga mengeluarkan Keputusan, Peraturan, Intruksi, Edaran para Gubernur, dan seterusnya. Tak terkecuali Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan  Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan (Rutan) di Bali, menurut data base Kanwil Hukum dan HAM Bali hunian Tahanan dan Narapidana hingga bulan Juni 2020, dapat digambarkan sebagai berikut dalam bentuk infotabel.

NO

LAPAS / RUTAN

Tahanan

Napi

Jumlah

Kapasitas

Over

Capacity


1

LP Kerobokan

256

1.014

1.270

323

293


2

LP Karangasem

16

167

183

149

23


3

LP Singaraja

63

139

202

100

102


4

LP Tabanan

15

147

162

162

47


5

LP Narkotika Bangli

0

461

461

468

0


6

LP Perempuan Dps

8

156

164

120

37


7

Lembaga Pembinaan Khusus Anak Karangasem

0

14

14

34

0


8

Rutan Bangli

19

83

102

116

0


9

Rutan Gianyar

51

73

124

44

182


10

Rutan Klungkung

13

53

66

46

43


11

Rutan Negara 

45

71

116

71

63


T o t a l

486

2.378

2.864

1.518

189


Terjadinya over capacity di LP Denpasar sekitar 293% menunjukkan proses pembinaan narapidana tidak akan berlangsung secara efektif efisien dan tidak akan menghasilkan tujuan yang optimal. Karenanya telah diambil kebijakan yang tepat dengan memberikan asimilasi dan integrasi kepada sekitar 245 orang Narapidana sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan  Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Sebuah kebijakan yang sangat tepat mengingat selain karena hak Narapidana sudah memperoleh asimilasi dan pembebasan bersyarat, juga ditengah pandemic Covid-19 telah diambil langkah-langkah positif untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang merupakan momok yang sangat menakutkan bagi para Napi, karena peluang menular antar sesama napi menjadi sangat mudah, rentan dan meluas. 

Namun, disisi lain dengan pemberian asimilasi dan integrasi yang merupakan hak narapidana sesuai dengan regulasi yang ada, maka tentu akan menimbulkan persoalan di kalangan masyarakat yang menerima kembali para narapidana yang memperoleh asismilasi tersebut. Banyak pandangan negatif ketika narapidana diberikan “kebebasan” antara lain dikhawatirkan terjadi pengulangan kejahatan selama pandemic Covid-19 ini, dan para narapidana merasa “bebas” kemana saja yang mungkin saja membawa virus yang membahayakan tersebut. Dan ini menjadi persoalan baru ketika beberapa narapidana yang seharusnya juga harus #dirumahaja# malah berkeliaran dan ada yang melakukan kejahatan.

Narapidana yang mendapatkan asimilasi dalam antisipasi Covid-19 ini seharusnya disosialisasikan kepada masyarakat, supaya masyarakat juga mengerti dan memahami asimilasi tersebut, dan setelah dibina di Lembaga Pemasyarakatan mereka akan re-integrasi dengan masyarakat tempat hidup dimana mereka berada dan bekerja. Pada umumnya, masyarakat tidak mau menerima (mantan) narapidana kembali ke lingkungannya disebabkan karena (1). Kurangnya sosialisasi, kesiapan dan kesadaran masyarakat; (2). Masih adanya pandangan yang berbeda di beberapa daerah terhadap latar belakang yang pernah dilakukan oleh narapidana; (3). Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses pembinaan narapidana dalam LP. Hal ini sangat terkait dengan mutu narapidana setelah menjalanai pembinaan di LP; (4). Masyarakat masih diliputi rasa curiga bahwa narapidana akan mengulangi perbuatannya; (5). Masyarakat menginginkan rasa aman dan tidak ada jaminan bahwa mantan narapidana tersebut akan berkelakuan baik secara terus menerus.

Menurut beberapa pandangan psikolog, stigma buruk sebagai penyandang narapidana meruoakan beban yang sangat berat dan tentunya sulit untuk di”hilangkan”. Stigma dapat muncul jika terdapat suatu kondisi yang dianggap berbeda atau tidak sesuai dengan standar normalitas suatu tempat. Proses terbentuknya stigma merupakan suatu proses yang panjang dan berkembang mengikuti seberapa banyak wawasan pengetahuan terhadap (gangguan jiwa) dan objek stigma yang dimulai dari dikenalnya isyarat pada objek-objek stigma, berkembangnya stereotip di masyarakat, sikap setuju pada stereotip yang memunculkan prasangka, hingga manifestasi prasangka melaluio perilaku diskriminasi.

Peran serta masyarakat yang mempunyai potensi dalam bidang pelaksanaan kegiatan kerja sangat dibutuhkan guan menunjang keberhasilan dari program pembinaan yang telah ditentukan. Dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana diperlukan program pembinaan yang menunjang ke arah integrasi dengan masyarakat. Seluruh proses pembinaan narapidana selama proses pemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang integral guna menuju kepada tujuan mengembalikan narapidana ke masyarakat bebas dengan bekal kemampuan (mental, fisik, keahlian, ketrampilan, sedapat mungkin finansial dan materi) yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

Peran serta masyarakat dalam pengawasan dan penerimaan kembali para narapidana sangat dibutuhkan guna mengembalikan keadaan mereka sebagai manusia yang baik seutuhnya tanpa merendahkan martabat mantan narapidana. Semoga bermanfaat***