STAND-UP COMEDY: MENYUARAKAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Funding period : 2014- Active
Abstrak
STAND-UP
COMEDY: MENYUARAKAN DEMOKRASI
DI INDONESIA
Ikma Citra
Ranteallo
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana
ABSTRAK
Komik adalah salah satu kategori selebriti yang sedang
menjadi perhatian media saat ini. Meskipun komik menyampaikan muatan komunikasi
untuk menghasilkan tawa dan hiburan kepada para penonton, namun melalui cara
ini, demokrasi dapat terwujud. Tulisan ini memetakan posisi komik, bukan
sebagai calon dan anggota legislatif, atau calon presiden, melainkan sebagai
komunikator politik. Komik menggunakan speech
(berbicara) sebagai aksi, tidak hanya untuk menyuarakan demokrasi dalam bentuk
berbeda. Komik juga berperan sebagai agen pengetahuan dan sosialisasi politik.
Selain itu, komik menyuarakan kata-kata sebagai representasi realitas sosial dan
kritik sosial, bukan dengan kekuatan dan kekerasan.
Kata kunci: stand-up comedy, media, komedi, politik, demokrasi
I think satire is one of the most
powerful tools we have to affect the way people think. When people laugh at
something, they believe that it is true, and they give their implicit stamp of
approval to whatever it is that they’ve laughed at.
-Dylan Brody
Pendahuluan
Studi tentang hubungan di antara komedi dan politik
telah menjadi pusat perhatian sejumlah peneliti. Sebuah tayangan komedi The
Colbert Show di Amerika Serikat dilatarbelakangi oleh opini politik Stephen
Colbert (LaMarre et al. 2009). Show ini juga pernah menayangkan satir
adegan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia, Tifatul Sembiring, bersalaman dengan Michelle Obama, 9 November
2010.
Wilson (2008) menggunakan teori
pengetahuan, kekuasaan, subjectivity,
budaya dan penilaian dalam menganalisa teks-teks humor. Teks tersebut digunakan
untuk menciptakan gagasan politik sebagai dampak politis. Penelitian lainnya
berfokus pada alasan-alasan seseorang mengkonsumsi konten video satir politik
di Internet. Metode yang digunakan adalah content
analysis terhadap video Youtube berlatar
belakang politik di Afrika Selatan (Botha 2014).
Berdasarkan
penelitian PewResearch Center for the
People and the Press pada tahun 2002
(di dalam Young dan Tisinger 2006), terdapat 21 persen anak muda (18-29 tahun)
yang memperoleh informasi secara teratur tentang kampanye presiden dari komedi The
Daily Show dan Saturday
Night Live. Young dan Tisinger (2006) menemukan hubungan positif di antara
menonton komedi tengah malam dan menonton berita dalam bentuk umum
(tradisional).
Humor
dan politik dalam program pertunjukan komedi, juga dianalisa berdasarkan riset
oleh Becker dan Haller 2014; Holbert et al.
2011; Arpan et al. 2011; Faina
2012; Baumgartner et al. 2012; Feldman
2007; serta Seirlis 2011; digital parodi politik (Gong dan Yang 2010); dan humor
sebagai strategi perlawanan Revolusi Mesir tahun 2011 (Helmy dan Frerichs
2013).
Penelitian
terhadap humor, khususnya stand-up comedy,
dan politik Indonesia masih terbatas pada kajian komunikasi, sastra dan media. Meskipun
eksistensi para komik di media telah dimulai sejak program TV Comedy Cafe pada tahun 2011, namun demikian
belum banyak kajian sosiologi menganalisa fenomena tersebut. Komik menggunakan
aksi speech (berbicara) untuk
merepresentasikan realitas sosial,
budaya, politik dan ekonomi melalui komedi.
Sejarah Singkat Komedi Yunani Kuno dan Stand-Up Comedy Indonesia
Komedi
ditampilkan dalam ritual Yunani Kuno, yang dirayakan oleh para penyembah dewa
Dionisius, pada tahun 487-486 SM (Bierl, 2011:260). Aristophanes dianggap
sebagai perintis komedi dunia, berdasarkan sejumlah karyanya, antara lain: Old Comedy The Acharnians [hubungan
antar-negara ], Wasps [penyusunan
keputusan oleh pengadilan], Frogs, Knights
[pengambilan keputusan secara demokratis oleh majelis umum], Clouds [retorika persuasif dan
nilai-nilai moral publik], Peace, serta
Birds. Old Comedy mengandung makna ‘segala
sesuatu yang berkaitan dengan polis [negara kota – politikos: warganegara]’ (Markantonatos dan Zimmermann (2011:ix). Komedi-komedi tersebut merupakan drama
komedi sebagai satir politik untuk menguraikan kekuasaan mutlak pemerintah Yunani
saat itu, sebagai penghambat proses
demokrasi.
Aristophanes
menggunakan komedi sebagai upaya untuk mengingatkan para penonton agar memiliki
kesadaran dan kontrol politik. Dia bahkan menggunakan peran utama perempuan
atau petani sebagai representasi kaum marjinal dalam konteks sosio-politik,
sekaligus menyerang pemerintah yang digambarkan sebagai pedagang kecil yang
tidak berpendidikan (Bowie, 1993:13, 16,
45, 293; Bierl, 2011:259, 410-411; Cartledge, 1990:27-28).
Komedi
kategori stand-up comedy di Indonesia
dimulai pada tahun 1997 di Comedy Cafe,
Jakarta, milik Ramon Papana. Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, serta Ernest
Prakasa adalah para komik yang pernah tampil di cafe ini pada tahun 2011-an. Pada tahun 2005, Iwel Wel menampilkan stand-up di RCTI. Selanjutnya, Indra
Yudisthira dari Kompas TV dan Agus Mulyadi dari Metro TV yang menuntun stand-up comedy menjadi tayangan populer
di televisi (Pragiwaksono, 2011).
Komik
tidak hanya menyampaikan pernyataan-pernyataan untuk menghasilkan tawa semata. Komedi
mengandung pesan dan ingatan-ingatan sosial tentang suatu hal atau benda,
seseorang, atau suatu kondisi. Muatan-muatan tersebut secara politis, dibawa ke
dalam relasi kuasa oleh komik. Hampir semua hal dapat terjadi dalam komedi.
Misalnya, benda diimajinasikan bertingkah laku seperti manusia. Komedi juga
telah menjadi cara protes sosial, sekaligus tawaran untuk melihat dan memahami
berbagai hal dari sisi yang berbeda. Sebenarnya, ketika penonton berhasil
dibuat menjadi tertawa, saat itulah komik berkuasa. Komik mempengaruhi cara
berpikir penonton, sehingga mereka tertawa dan percaya bahwa komedi itu benar.
Humor, Joke (Lelucon)
dan Komedi
Sebagian
besar masyarakat di dunia tidak terpisahkan dari humor atau hal yang dianggap
lucu. Bagaimana peran humor dalam masyarakat? Marmysz (2003:141) menginterpretasi
penjelasan Sigmund Freud tentang humor,
yaitu suatu kemampuan manusia untuk menafsirkan dunia dengan cara berbeda dari
pandangan umum. Perbedaan
penafsiran ini dapat menghasilkan sebuah kegembiraan karena terjadi permainan
realitas, di mana seharusnya seseorang mengekspresikan kesedihan. Meskipun
sifatnya menyembuhkan dan menjadi sumber penghiburan karena sakit hati, humor
berbeda dengan penyembuhan yang ditawarkan agama, dan juga bukan sebuah aliran
kepercayaan yang harus diyakini. Seseorang dengan selera
humor yang baik, dianggap lebih mudah berinteraksi daripada yang memiliki
selera humor rendah (Cann dan Calhoun, 2001; di dalam Moran et.al 2014).
Macionis (2011:137) menguraikan secara
detail bagaimana peran penting humor dalam interaksi sosial. Sebagai
bagian dari humor, satir dan parodi yang disampaikan para komik, merupakan
konstruksi sosial terhadap realitas. Konstruksi ini berasal dari dua kategori
realitas yang berbeda, yaitu conventional
dan unconventional. Kategori pertama
mempertemukan orang dengan harapannya pada situasi tertentu. Misalnya, penonton
merasa puas karena seorang pesulap berhasil menghibur dengan permainan sulit,
namun berhasil. Sedangkan kategori kedua menawarkan cara-cara tidak biasa dalam
pola-pola buaya.
Humor
dibentuk dari kontradiksi, ambigu, dan makna ganda pada definisi yang berbeda,
dalam situasi yang sama. Dalam konteks
ini, penyimpangan bukan berarti tindakan kriminal. Komik menginterpretasi dan
menyampaikan kenyataan sosial berdasarkan kenyataan unconventional. “Punch line”
– sebagai titik temu interpretasi di antara komik dan penonton – muncul ketika
komunikasi kedua pihak tersebut memiliki persepsi yang seimbang pada dua
kategori realitas. Sebagai kritik sosial, seorang komik juga sering menggunakan
pengalaman pribadi sebagai refleksi sosial. Punch
line bahkan menjadi semacam konsensus sosial untuk menghubungkan
interpretasi komik dengan penonton. Interpretasi dalam konteks ini ditujukan
pada jarak, perbedaan atau pertentangan di antara dua penjelasan sebuah
realitas.
Seorang
penonton komedi harus dapat membedakan: penjelasan sebenarnya dan penjelasan rekaan komik. Oleh karena itu, komik harus memastikan bahwa
uraian yang disampaikan dapat dimengerti oleh penonton. Humor, komedi dan
joke (lelucon) merujuk pada hal-hal yang menyebabkan kita tertawa dalam
kondisi tertentu. Elemen utama komedi adalah naif, yang cenderung disamakan
dengan sikap polos dan jujur pada suatu kebenaran yang bahkan diabaikan sama
sekali. Seorang komik yang naif tidak menyampaikan tipu muslihat. Meskipun
penjelasan realitas-nya adalah sebagian rekaan, namun demikian para penonton
paham secara pasti kebenaran dan realitas sebenarnya. Secara detail, Freud
mendeskripsikan naiveté (naif) sebagai wujud ketulusan hati yang alami, dan
berlawanan dengan seni tipu muslihat sebagai sifat dasar manusia (di dalam Marmysz,
2003:138-139).
Kita menyampaikan joke (lelucon) sebuah
narasi yang belum tentu benar seperti kenyataan. Fungsi lelucon adalah
menghibur orang lain, yang biasanya dilakukan oleh pelawak atau komedian. Masyarakat
Papua di Indonesia mengenal istilah “mop”, mengacu pada kebiasaan masyarakat
untuk menceritakan sesuatu yang lucu untuk mengisi waktu luang. Mop lebih
singkat, tidak rumit, dan fiktif. Berbeda dengan komik, seorang penutur mop
cenderung tidak terlibat dalam narasi[1].
Berdasarkan
pengalaman saya dengan teman-teman dari Papua, mop diuraikan secara bergilir
ketika sedang berkumpul. Setiap orang harus memastikan bahwa mop yang akan
disampaikan, belum pernah didengarkan sebelumnya oleh para penonton saat itu.
Meskipun fiktif, mop dapat mengelaborasi aspek sosial, sejarah, politik,
ekonomi, bahkan lelucon tentang seks di Papua. Apabila seseorang menyampaikan
mop dengan penghayatan mendalam, para pendengar kadangkala belum dapat
membedakan, apakah mop yang sedang didengarnya adalah kenyataan atau rekaan. Dua
di antara mop Papua yang ditampilkan dalam akun Twitter @moppapua[2], sebagai
berikut:
(1)
Yaklep
de beli pilox warna putih baru de jalan menuju tembok di dekat pasar trus de
mau tulis OPM di tembok situ. Pas Yaklep baru tulis huruf OP besar-besar
ditembok langsung ada Tentara 1 lewat trus tanya Yaklep.
Tentara:
“Woi..Ko mau Tulis apa tuh di tembok..ko Mau tulis OPM toh..??”
Karena
Yaklep de Takut jadi de cuma jawab.
Yaklep:
“Ah..trada Om...!!”
Langsung
Yaklep lanjut tulis ‘OPQRSTUVWXYZ’
[Yaklep (laki-laki) dan Mince
(perempuan) adalah nama yang paling sering digunakan dalam mop. OPM singkatan
dari Organisasi Papua Merdeka. “De”: dia]
(2) Gunung meletus, lahar su mo sampe. Yaklep deng Mince panik mau angkat barang
bagaimana, sedangkan dorang pu anak juga banyak lagi. Yaklep su bajalang kluar
rumah angkat barang-barang,
tralama Mince teriak: "Yakleeeepp,
ini anak-anak bagemana???”
Yaklep balik muka liat Mince deng
anak-anak, terus de angkat: “sudah, ko pilih yang bagus-bagus saja yang trabaik
ko kas tinggal.”
[Kisah ini tentang suami-istri,
Yaklep dan Mince, yang sedang panik karena bencana gunung meletus sedang
melanda tempat tinggal mereka.
Sementara panik, Mince teriak pada
Yaklep: “anak-anak kita bagaimana?”.
Yaklep menjawab: “Kau pilih dari
mereka yang pintar dan baik, yang tidak, tinggalkan saja.”]
Beberapa
peran pada mop (1) meliputi: Yaklep, simpatisan atau anggota OPM; dan tentara,
TNI yang bertugas mengamankan Papua dari gerakan-gerakan yang diaggap
separatis, yaitu OPM. Pendengar atau pembaca mop ini tidak perlu lagi bertanya:
“mengapa Yaklep tidak melanjutkan niatnya untuk menulis “OPM” pada tembok? “.
Jawabannya sudah tersirat, Yaklep takut ditangkap oleh tentara itu, lalu
menjalani hukuman. Seseorang yang mengalami ketakutan, sedih, atau kemalangan,
seringkali justru menjadi bahan lelucon.
Mop (2) tentu tidak menawarkan
pilihan kepada pendengar mop untuk melakukan hal sama yang dilakukan oleh
Mince, saat bencana tiba. Dalam konteks ini, kisah Yaklep dan Mince bukan kisah
nyata, dimana mereka sungguh-sungguh meninggalkan anak-anak mereka. Penutur mop
tidak perlu menguraikan secara detail: apakah anak-anak yang “trabaik” [nakal]
benar-benar ditinggalkan; bagaimana jawaban Mince saat Yaklep memintanya
melakukan perintah tersebut; gunung berapi mana yang sedang erupsi; atau apakah
semua anggota keluarga ini selamat atau tidak. Semua jawaban dari pertanyaan
tersebut tidak perlu dan tidak penting, baik bagi penutur maupun pendengar. Hal
ini disebabkan karena mereka sudah tahu apa itu mop.
Sebagian masyarakat juga sering
menggunakan dirty jokes (lelucon
cabul). Muatan lelucon ini kurang lebih berisi hal-hal terkait alat kelamin
atau hubungan seksual. Selain itu, lelucon tentang suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA). Kedua kategori lelucon ini lebih banyak di dalam hubungan
sosial yang erat. Meskipun demikian, sebagian orang atau kelompok sosial
menghindari lelucon ini karena dianggap dapat menghasilkan konflik.
Pada awalnya, komedi adalah salah satu
jenis drama yang ditampilkan pada masa Yunani Kuno, selain tragedi. Seorang
humoris dituntut untuk mengkonstruksi sebuah narasi menjadi lelucon, sehingga
dapat memenuhi harapan penonton. Sedangkan komedi mengharuskan seorang komik
mengkonstruksi alur narasi yang terbalik atau berbeda dari lelucon, lalu pada
titik tertentu, komik dapat mengembalikan alur tersebut pada situasi yang menghibur
dan lucu. Aristoteles dalam karyanya Poetics, menekankan bahwa komedi harus
mengandung titik balik atau tikungan tersebut, sehingga penonton dapat
memperoleh makna dari pertunjukan seorang komik (Marmysz,
2003:139).
Dalam konteks sosiologi gender, tidak
banyak perempuan yang menjadi komik. Secara khusus, pada SUCI Season 4, hanya
seorang perempuan, Sri Rahayu, dapat masuk finalis 10 besar. Perempuan
diposisikan sebagai penjaga moral dan aturan sosial. Sementara laki-laki
dibebaskan untuk bermain dan bercanda, karena ada perempuan yang dapat
mengembalikan mereka pada jalur moral setelah menjalani kebebasannya. Feminitas
diasosiasikan dengan empati, sentimen, dan intuisi. Sementara itu, komedi sebagai
manifestasi intelek dianggap berlawanan dengan feminitas. Konstruksi sosial ini
yang mengabaikan kemampuan perempuan berpikir logis dan menjadi komik (Walker
1988:42, di dalam Wagner, 2013:40-41). Berikut ini cuplikan komedi Sri Rahayu[3] :
“..Sekarang
temanya Pemilu, Caleg dan sebagainya. Pemilu itu katanya sifatnya rahasia. Tapi
kenapa yang jaga di TPS [Tempat Pemungutan Suara] itu selalu Hansip? Kalau
memang rahasia, pasti yang dipakai itu FBI [Federal
Bureau of Investigation], CIA [Central
Intelligence Agency], BCL [Bunga Citra Lestari], IDP [Indah Dewi Pertiwi],
SNSD [So Nye Shi Dae – girlband Korea
Selatan]...Tapi suatu hari nanti saya bercita-cita jadi Caleg...saya janji saya
tidak menyuruh kalian untuk memilih saya. Yang perlu kalian lakukan cuma
kembalikan modal saya. Dan kalau modal saya sudah kembali, saya akan suap
kalian supaya pilih saya...Kita selalu bingung memikirkan Caleg, padahal Caleg
tidak pernah bingung memikirkan kita, tidak pernah mengingat kita...Yang harus
kalian pilih adalah Caleg yang jujur, jujur butuh uang rakyat...”
Sri Rahayu menggunakan
beberapa singkatan yang tidak dimengerti oleh sebagian penonton SUCI. Hal ini
menyebabkan beberapa penonton bertanya kepada penonton di sebelahnya, sehingga
dalam beberapa detik, penyampaian alur komedi oleh komik mendadak terhambat. Di
sisi lain, apresiasi kepada komik terwujud dalam bentuk tepuk tangan meriah, bahkan standing
applause.
Pemilih perempuan juga penting untuk dicermati, di
samping sebagai basis kekuatan politik. Berikut ini Krisna[4] menggunakan
representasi 30% perempuan dalam komedi:
“Daya tarik politik...Semua rebutan
jadi wakil rakyat...Itu menurut gue, emang yakin banget gitu wakil rakyat
mewakili kita? Gaya hidupnya aja udah beda. Man,
batuknya aja udah beda. Pejabat batuk-nya elegan. Keren. “Ehmm”. Keluar sapu
tangan. “Ehmm”. Keluar duit berobat. Batuk lagi...”Ehmm...ehmm...”. Ke luar negeri berobat. Kalau batuk rakyat kan
gak enak dengernya: “hok..hok..”. batuk rakyat ga enak. Keluar dahak. Batuk
lagi, keluar darah. Batuk lagi, ICU [Intensive Care Unit]. Udah beda
dong...Trus parpol, katanya harus
30%-nya perempuan...Gue lihat di daerah-daerah tuh, gue baca [referensi bacaan]
banyak yang gak memenuhi. Gak banyak perempuan yang mau jadi caleg gitu.
Ya...gue takutnya kalau harus 30%, takutnya ini dipaksa. Tiba-tiba emak
gue...”Bu...Bu...ayo, Bu!”. Emak gue mana bisa! Baca Undang-undang aja udah
‘meriah’. Kalau caleg tuh harusnya keren...Nah, emak gue ke mana-mana pakai
daster. Di rumah pakai daster. Ke mall pakai daster. Pernah juga dibeliin ama
bokap gue, baju tidur – lingerie.
Renda-renda, jaring-jaring gitu. Cuman gak dipakai ama emak gue. Dipikir
saringan teh. Caleg itu harus bisa teknologi...Nah, nyokap gue, megang mouse aja udah kesetrum. Gimana mau jadi
caleg? Kalau 30% itu rada susah lah ya...Artis pengen jadi wakil rakyat. Tapi
jangan semua artis jadi wakil rakyat...”
Pemenuhan
kuota 35% keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat dapat menciptakan
demokrasi yang justru memproduksi serangkaian efek negatif, apabila kekuatiran
Krisna di atas dimiliki oleh caleg perempuan.
Media, Demokrasi
dan Selebriti
Arendt (1973:312) menganalisa dua jenis
demokrasi ilusi yang terjadi pada sejumlah negara – termasuk Eropa – dan sistem kepartaian. Ilusi
ini merupakan wujud kesuksesan pemerintah totaliter. Pertama, rakyat telah berperan aktif dalam pemerintahan. Setiap
orang peduli pada sesama, atau pada partai lain. Pada saat bersamaan,
pemerintah totaliter seolah-olah mengakomodasi massa yang skeptis secara
politis, sehingga mereka dapat menjadi
mayoritas dalam sistem demokrasi. Meskipun demikian, minoritas tetap menjadi
sasaran untuk mematuhi aturan-aturan pemerintah. Gambaran ilusi tersebut dapat
dicermati pada komedi David[5]
berikut ini:
“...Gue
ini lahir di keluarga yang melek politik...Di kampung, keluarga gue paling
aktif, nyari amplop...Pemilu suka bikin bingung ya. Partai banyak. P-anu lah,
P- itu lah. Menurut gue percuma, Bang. Kalau ujung-ujungnya jadi PHP – Partai
Harapan Palsu... Ada yang niat golput? Jangan. Biaya pemilu itu kurang lebih 15
triliun. Masya Allah! Itu duit semua. Dengan duit segitu, lu bisa bikin hal
mustahil jadi nyata. Kalau gue punya duit 15 triliun, gue pengen bikin riset.
Bagaimana caranya, kerak bumi jadi kerak telor...Jadilah pemilih yang kritis!
Gampang belajar kritis, ama komentator bola tarkam (antar kampung). Dia kenal
nama sama aibnya...Saban Pemilu tiap tahun, di keluarga gua, yang paling aktif
mah Nyai gua. Semangat bener dia nyoblos...TPS buka jam 8, subuh dia udah mandi
wajib. Ini gua curiga, dia malam-malam emang mimpi nyoblos. Dari rumah dia
yakin banget, Bang.
Begitu
sampai di TPS, dia bingung. “Eh, nyoblos yang mana ya?”
“Bang,
aye lupa ini...Yang kemarin ngasi amplop yang mana ya?”
Partisipasi politik oleh keluarga David,
secara khusus nyai [neneknya],
adalah salah satu wujud demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Pernyataannya,
apakah keluarga ini masuk kategori mayoritas atau minoritas menurut Arendt?
Dalam konteks demokrasi ilusi, mayoritas adalah kategori masyarakat yang
skeptis, tidak peduli pada pemerintah dan politik. Meskipun berpartisipasi saat
Pemilu, tidak semua memilih berdasarkan pengetahuan tentang siapa dan dari
partai mana calon legislatif yang dipilih. Peluang seperti ini sekaligus
menyuburkan politik uang.
Kedua,
massa yang tidak memihak secara politis dan tidak berpengaruh dalam
pemerintahan totaliter. Kategori massa seperti ini benar-benar netral dan tidak
lebih sebagai latar belakang tidak jelas dalam kehidupan politik suatu negara. Namun
demikian, justru mereka sering digunakan sebagai kekuatan massa suatu partai
politik atau calon legislatif.
Komik dapat membicarakan hal-hal kontroversial terkait
Pemilu, misalnya partai politik yang menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera
namun melakukan yang sebaliknya. Tindakan komik tersebut dapat diterima oleh
sebagian orang yang paham profesionalitas komik. Salah satunya dapat diamati
dalam narasi Abdur[6] berikut ini :
“...teman-teman,
sudah 16 tahun kita tertatih dalam reformasi. Ditipu oleh politisi yang katanya
berikan bukti bukan janji. Tapi begitu ada tangis suara minor di pelosok negeri, mereka sibuk mencari koalisi
bukan solusi. Makanya teman-teman, daripada sibuk nonton mereka yang debat di
televisi, lebih baik datang kesini. Bisa cuci mata. Ada Tante Fenny (Rose).
Teman-teman, ada 6608 orang yang berebut kursi di DPR-RI, 560 kursi. Ini
berarti, 1 orang, itu cuman punya peluang 8%. Memang tidak semua. Tapi ada
orang yang menghabiskan uang banyak untuk mendapatkan posisi ini. Pertanyaannya
sekarang adalah orang gila mana yang mau menghabiskan uang banyak untuk
investasi yang peluang dia kalah adalah 99%? Orang gila mana?
Makanya
kalau ada yang bilang, “Ah, anggota DPR itu gila.”
“Heh,
mereka itu sudah gila dari awal”
...Peluang
8% menang, kalau dalam permainan catur,
itu artinya kita pakai bidak 2 kuda. Itupun satu kuda liar. Jalannya tidak L,
tapi Dul, lompat pembatas, 7 mati. Saya bilang seperti ini teman-teman, karena
Bapak saya itu jadi Caleg di 2014. Kemarin beliau buat kartu nama. Bagus
sekali. Lengkap dengan foto macam Ursula potong poni begitu. Kemudian beliau
bagi ke seluruh masyarakat kampung...Begitu KPU datang untuk sosialisasi,
ternyata di surat suara tahun ini tidak ada foto Caleg. Bapak saya langsung stress.
Karena kalau tidak ada foto Caleg, bagaimana masyarakat mau memilih? Masyarakat
disana kan rata-rata masih buta huruf. Jangankan mau memilih, huruf A besar
macam Gunung Krakatau saja mereka pikir Lem Alif. Teman-teman, menurut saya,
selama pendidikan di Indonesia tidak merata, demokrasi kita akan selalu rusak.
Karena suara seorang profesor dengan suara seorang preman, sama-sama dihitung
1. Suara orang yang memilih karena analisa dan suara orang yang memilih karena
dibayar, sama-sama dihitung 1. Makanya teman-teman, jangan ada yang golput.
Karena kita semua yang ada disini, dan yang ada di rumah, adalah harapan Indonesia, agar
orang-orang yang sudah gila sejak awal, tidak terpilih tahun ini. Biarkan mereka gila sendiri...Yang lebih gila
itu nanti adalah tim sukses di posko pemenangan. Mereka bisa stress hanya
gara-gara nama. Tim sukses tapi gagal. Posko pemenangan tapi kalah. Aduh mama
sayang e. Ini seperti berzinah tapi halal.
Zinah
apa yang halal?
“...Wei,
Bro! Kemarin saya abis berzinah di lokalisasi”
“Astagfirullah!
Cepat sholat tobat sana!”
“Eh,
tenang! Kemarin waktu bayar, saya sudah potong 2,5% untuk anak yatim...”
Meskipun
media dianggap sering tidak proporsional dalam memberitakan opini politik,
tidak berarti semua rakyat dapat dipengaruhi begitu saja. Motivasi para pemilih
dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April
2014 lalu, dapat diakibatkan oleh berbagai hal. Salah satunya adalah informasi
berkaitan dengan calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) tertentu.
Dalam hal ini, komik berperan sebagai agen sosialisasi politik yang mampu
menyebarkan gagasan, fakta, atribut-atribut partai politik.
Pada bulan Juni 1945, Soekarno berpidato tentang Pancasila
sebagai dasar falsafah Indonesia. Demokrasi adalah salah satu bagian penting di
dalam kelima sila tersebut. Pada saat
itu, demokrasi diterjemahkan oleh partai politik sebagai: kedaulatan rakyat;
kerakyatan; vox populi, vox
Dei;
dan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Kebebasan berserikat dan
berkumpul, serta kebebasan pers adalah manifestasi demokrasi, sebagai hak asasi
rakyat (Feith, 2007:38).
Menjelang akhir Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno tahun
1957-1965, dan awal pemerintahan Orde Baru, sebanyak 43 surat kabar dilarang
terbit. Setelah peristiwa Malari pada tanggal 15 Januari 1974, pemerintah
melarang 20 penerbitan, serta menangkap beberapa jurnalis karena dianggap anti-pemerintah.
Hal ini memicu protes mahasiswa terhadap Orde Baru pada tahun 1978. Rakyat
Indonesia mengenal televisi pada awal tahun 1953. Perusahaan-perusahaan
Amerika, Jerman dan Jepang, mempromosikan hardware
televisi. Pada tahun 1962, Asian Games ke-4 dilaksanakan di Jakarta, yang
membawa Indonesia tampil dalam televisi. Pada tahun 1966, TVRI memperoleh dana
subsidi dari pemeritah Orde Baru setiap tahun. Pada bulan November 1988,
Indonesia mulai mengenal program televisi swasta, yang terbatas tayang di
Jakarta (Sen dan Hill, 2007:53, 108-109, 111).
Sejarah demokrasi bermula dari konsep
demokrasi Atena, yang mendasari pemikiran politik masa kini. Hampir semua
kebebasan rakyat dapat dijamin oleh demokrasi (Held, 2006:13). Demokrasi
tidak dapat terwujud apabila kekuasaan dipenuhi dengan paksaan, ketakutan dan
kekerasan. Sebaliknya, transformasi menuju demokrasi dapat tercapai melalui
konsolidasi dan toleransi (Hadiwinata, 2008:283). Dalam hal ini, partai politik
sebagai institusi penghubung antara masyarakat sipil dan negara. Namun
demikian, partai politik gagal melakukan perannya pada pemilihan calon
legislatif (caleg) 9 April 2014, karena konflik internal partai dan politik
uang. Meskipun politik uang telah berlaku sejak pemilihan umum pertama tahun
1955, namun para caleg tidak banyak yang bermitra dengan kalangan pengusaha. Di
samping itu, ‘blusukan’ para caleg ke pedesaan berhasil mengumpulkan dukungan
para elit desa (Ufen, 2008:153, 155).
Televisi
sebagai media membutuhkan komoditi, yang diharapkan dapat menghasilkan
keuntungan. Salah satu komoditi tersebut adalah komunikasi. Dalam konteks
politik dan demokrasi, komunikasi berperan penting untuk menentukan partisipasi
politik, misalnya iklan pemilihan calon presiden dan calon legislatif (Baker,
2004:65, 73).
Dalam konteks Sosiologi, Mirsepassi
(2010:179), berpendapat bahwa partai politik sebagai institusi diharapkan dapat
menjamin hak asasi dan kebebasan berpolitik; hak untuk memilih; pemenuhan
kebutuhan dan penggunaan sumber daya ekonomi untuk konsumsi, produksi dan
pertukaran; peluang mengkritik pemerintah melalui pers dan partai politik;
akses pada kesehatan dan pendidikan; tranparansi publik; serta kebebasan menyingkap
kasus korupsi. Media berperan untuk menyampaikan pada rakyat, apakah hak-hak
tersebut telah dipenuhi atau belum. Media seharusnya mempertemukan aspirasi
rakyat dengan program-program pemerintah dan partai-partai politik.
Rojek
menjelaskan beberapa asal kata yang mengacu pada
istilah ‘selebriti’. Celebrem dalam Bahasa Latin, berarti populer dan
dikelilingi (dikerumuni); seseorang memiliki karakter populer yang tidak
bertahan lama (2001:9). Komik telah menjadi selebriti, tidak hanya ketika dia
tampil di televisi. Dari beberapa komik, khususnya yang 10 finalis SUCI Season 4 di Kompas TV, tidak semua
berwajah tampan dan cantik, seperti halnya selebriti. Mereka berasal dari latar
belakang suku, pendidikan dan pekerjaan yang berbeda. Namun, pertunjukan di
televisi harus menarik, sehingga mereka harus berias dan berpakaian menarik.
Setiap pertunjukan SUCI, pakaian para komik selalu mengacu pada merek tertentu,
yang diperjelas dengan tag line pada
layar televisi.
Kajian-kajian
terhadap media, politik dan selebriti seringkali menghasilkan sebuah
generalisasi, bahwa selebriti belum memiliki kompetensi untuk merepresentasikan
rakyat. Salah satu alasannya adalah citra selebriti yang telah dikonstruksi
oleh media. Sebagian selebriti belum layak terlibat dalam perumusan kebijakan
karena pengalaman dan pengetahuan tentang politik masih diragukan. Comic (komik; komika; pelaku stand-up comedy) adalah salah satu
kategori selebriti yang sedang menjadi perhatian media saat ini. Sejak tahun
2011, stand-up comedy di Indonesia
telah melalui metamorfosis, dari Comedy
Cafe, menjadi Stand-Up Comedy Show (SUCS)
dan kompetisi Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI).
Dua stasiun televisi di Indonesia yang menayangkan SUCS dan SUCI adalah Metro TV
dan Kompas TV.
Di sisi lain, para akademisi dan praktisi
hukum, tata negara, komunikasi, sejarah, politik, ekonomi, budaya, bahkan
sosiologi telah menjadi semacam artis mendadak, menjelang dan setelah Pemilihan
Umum. Mengapa demikian? Media cetak dan elektronik saling berkompetisi untuk
menggunakan para praktisi handal, demi komentar-komentar dan analisa-analisa
mereka terkait dengan kepentingan media. Dengan demikian, media dapat
menghasilkan keuntungan karena memperoleh rating
dan penghasilan dari iklan selama program media tersebut berlangsung.
Menurut Kamalipour (2010:xviii), kenyataan seperti ini berakibat pada demokrasi
sosial, politik dan ekonomi suatu negara. Motif kompetisi di antara para
komentator tersebut telah menjadi dasar atau alasan dalam Pemilu 2014 oleh
sebagian para pemilih.
Intensitas kemunculan di media cetak dan elektronik adalah modal bag