Journal article

Menakar Hak dan Kewajiban Perempuan Bali Pasca Perceraian

NI LUH NYOMAN KEBAYANTINI Ni Made Anggita Sastri Mahadewi

Volume : 24 Nomor : 1 Published : 2019, February

Jnana Budaya

Abstrak

Sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali membuat posisi perempuan menjadi subordinat dibandingkan laki-laki khususnya ketika terjadi perceraian. Perempuan Bali dipaksa untuk meninggalkan rumah perkawinannya dan juga meninggalkan jaringan keluarga besarnya. Hak asuh anak menjadi salah satu persoalan ketika bercerai. Hak asuh anak jatuh pada pihak laki-laki karena aturan adat Bali sangat patriarkhis. Artikel ini memperlihatkan bahwa banyak pasangan suami istri yang bercerai tidak melalui proses pengadilan karena membutuhkan waktu cukup panjang dan biaya tidak sedikit. Oleh karenanya mereka kemudian memilih bercerai secara adat Bali yang dianggap sah di desa adat karena mereka akan memiliki ketegasan dan kejelasan terkait statusnya di dalam keluarga, banjar dan atau desa adat. Selanjutnya didapatkan bahwa seorang perempuan (mantan istri) hanya mempunyai hak dan kewajiban mengasuh saja dan sama sekali tidak pernah memiliki anak-anak mereka. Hak atas harta bersama (harta gono gini) dimana perempuan Bali biasanya tidak mendapat hak tersebut. Hal tersebut dikarenakan 1) Hanya suami yang bekerja maka harta tersebut dipandang hanya milik suami. 2) Harta tersebut didapatkan dari pengelolaan aset milik orang tua pihak suami. 3) Harta tersebut berada di atas lahan miling orang tua suami sehingga susah dan malas untuk menghitung dan mengurusnya. Berbeda halnya dengan harta bersama yang dimiliki pasangan yang sama-sama bekerja (formal) dan hartanya berada di luar lahan milik orang tua suami. Ketika bercerai harta bersama ini mudah dihitung dan diurus sehingga dapat dibagi secara adil. Kata kunci: Hak dan Kewajiban, Perceraian, Patriakhi