Journal article

Identifikasi Hiu yang Diperdagangkan di Bali Menggunakan Metode DNA Barcoding dan Analisis Filogenetik

Rizaldi Cahya Bramasta Elok Faiqoh I Gede Hendrawan Andrianus Sembiring Ni Luh Astria Yusmalinda

Volume : 7 Nomor : 1 Published : 2021, November

journal of Marine and Aquatic Science

Abstrak

Hiu merupakan salah satu penyeimbang ekosistem di lautan. Hiu sebagai top predator memiliki peranan penting untuk menjaga kestabilan rantai makanan di lautan. Hilangnya hiu akan berdampak besar terhadap ekosistem laut, maka dari itu keberadaan hiu di lautan harus dijaga dan jangan sampai punah. Akan tetapi aktivitas penangkapan dan perdagangan hiu masih sering dilakukan karena tingginya minat konsumen terhadap hasil olahan hiu. Bali merupakan salah satu lokasi aktivitas penangkapan dan perdagangan hiu. Permasalahan yang ada adalah perdagangan hiu telah melewati proses finning sehingga hanya menyisakan bagian tubuh atau siripnya saja yang mengakibatkan identifikasi secara morfologi tidak dapat dilakukan. Metode alternatif yang dapat digunakan apabila identifikasi secara molekuler tidak dapat dilakukan adalah DNA Barcoding. DNA Barcoding sebagai sarana untuk mengidentifikasi semua spesies hewan dengan pendekatan molekuler yang efektif diaplikasikan dalam upaya identifikasi spesies. Hasil identifikasi hiu yang diperdagangkan di Bali menggunakan metode DNA Barcoding mendapatkan empat jenis spesies hiu yang dijual, yaitu hiu martil (Sphyrna lewini), hiu tikus (Alopias pelagicus), hiu tikus mata besar (Alopias superciliosus), hiu sutra (Carcharinus falciformis). Hiu yang diperdagangkan tergolong dalam daftar merah IUCN, satu spesies Sphyrna lewini tergolong terancam, sedangkan spesies lainnya masuk dalam kategori rawan, yaitu Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Carcharinus falciformis. Dalam peraturan perdagangan internasional pada CITES, seluruh spesies yang didapatkan termasuk dalam Appendiks II. Pada peraturan nasional, spesies Alopias pelagicus, Alopias superciliosus, Sphyrna lewini diatur oleh peraturan Menteri, sedangkan untuk Carcharinus falciformis, belum ada peraturan nasional yang mengatur.