Pratransfusion Laboratory Update
Ni Kadek Mulyantari
ISBN : ISBN: 978-602-294-151-4 Published : 2016
Abstrak
Transfusi darah merupakan salah satu
komponen terapi yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien. Pemberian
transfusi darah harus berpegang pada prinsip bahwa manfaat yang akan diterima
oleh pasien jauh lebih besar dibandingkan risiko yang akan ditanggung, sehingga
semboyan “Getting the right blood to the
right patient at the right time and the right place” harus benar-benar
dilaksanakan.
Transfusi darah sudah
dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pada awal diperkenalkan, kegiatan transfusi
darah sering mengalami kegagalan bahkan menimbulkan kematian pada sejumlah
pasien. Semakin lama kegiatan transfusi darah semakin menemukan titik terang
sehingga cukup banyak nyawa yang bisa terselamatkan. Titik terang tersebut
mulai terlihat saat ditemukannya sistem golongan darah ABO oleh Karl Landsteiner pada abad ke-19. Tahun
1904, Charles Richard Drew menemukan bahwa plasma darah atau cairan yang tidak
mengandung sel darah merah dapat dibekukan dan disimpan dalam waktu lama tanpa
mengalami kerusakan. Berdasarkan temuan
tersebut mulailah dilakukan pemisahan komponen darah dan dibuka bank
penyimpanan darah.
Pada tahun 1950 Carl Walter and W.P. Murphy memperkenalkan kantong plastik untuk
mengumpulkan darah donor sehingga darah dapat dikemas dengan lebih aman
dan praktis. Tahun 1953 mulai dikembangkan refrigerated centrifuge untuk memisahkan komponen darah
menjadi beberapa jenis komponen dan saat ini pemisahan tersebut sudah dapat
dilakukan secara otomatis dengan mesin apheresis.
Meskipun telah ditemukan teknik dan
peralatan yang menunjang dalam kegiatan pelayanan transfusi, ternyata masih
ditemukan banyak masalah terkait transfusi darah. Misalnya meskipun golongan
darah ABO antara pasien dan donor sudah sama, namun sejumlah reaksi selama dan
setelah transfusi tetap terjadi. Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul
di lapangan, akhirnya ditemukanlah sejumlah pemeriksaan laboratorium yang dapat
mencegah munculnya efek samping transfusi darah.
Pemeriksaan laboratorium sebelum
pemberian transfusi darah (pretransfusion
testing) merupakan bagian yang sangat vital dalam kegiatan transfusi. Uji
pratransfusi inilah yang menentukan
apakah produk darah yang akan ditransfusikan dapat memberikan manfaat yang
optimal atau tidak kepada pasien. Selain itu, uji pratransfusi juga dapat
memprediksi apakah transfusi akan memberikan efek samping yang fatal atau tidak
sehingga pencegahan terjadinya efek samping pemberian transfusi dapat lebih
awal dilakukan.
Laboratorium pratransfusi terus
mengalami perkembangan. Perkembangan terjadi mulai dari pemeriksaan yang sangat
sederhana sampai pemeriksaan otomatispun telah berhasil dilakukan. Pada awal
abad ke-19, laboratorium pratransfusi hanya bisa dikerjakan terbatas pada
pemeriksaan golongan darah dan crossmatcing
dengan menggunakan metode slide test
dan tube test. Pada tahun 1945
Coombs, Mourant
dan Race menemukan pemeriksaan antiglobulin untuk mendeteksi antibodi yang
mensensitisisasi sel darah merah maupun antibodi yang bebas dalam serum. Tahun
1946 Coombs dan Cowokers melaporkan penggunaan Anti Human Globulin (AHG) untuk mendeteksi sensitisasi sel darah merah secara in vivo pada bayi baru lahir dengan
kelainan hemolitik dan selanjutnya dikenal dengan Direct Antiglobulin Testing (DAT). Pada tahun 1960 mulai digunakan
metode micoplate testing untuk
mendeteksi adanya antigen sel darah merah dan antibodi dalam serum secara rutin
terutama di Unit Transfusi Darah (UTD). Metode micoplate testing ini terdiri dari 96 wells yang digunakan untuk menggantikan metode tube test pada pemeriksaan dengan jumlah test yang banyak.
Perkembangan selanjutnya
yakni pada Tahun 1985, Dr. Yves Lapierre dari Perancis mengembangkan teknik gel test menggunakan berbagai media
seperti gelatin, acrylamide gel, dan glass beads. Dr. Lapierre menemukan
adanya aglutinasi selama sedimentasi dan sentrifugasi standar serta menemukan
adanya partikel gel sebagai materi yang ideal untuk mendeteksi aglutinasi.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 1978 Rosenfield dan Coworker pertama kali
berhasil mengaplikasikan prinsip solid-phase
immunoassay untuk pemeriksaan golongan darah dan antibodi skirining.
Selanjutnya solid-phase immunoassay
mengalami perkembangan sehingga dikenal adanya solid-phase red cell adherence (SPRCA), solid-phase protein A dan solid-phase
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tahun 1988, Dr. Lapierre dan DiaMed A.G mengembangkan produksi gel
di Eropa dan September 1994 Food and Drug
Administration (FDA) memberikan ijin produksi dan distribusi antiglobulin anti-IgG gel card. Penemuan terus berlanjut sehingga
saat ini pemeriksaan laboratorium immunohematology
sudah berjalan dengan sistem automation
technology.
Dalam buku ini akan dibahas secara
rinci mengenai berbagai pemeriksaan laboratorium sebelum produk darah
ditransfusikan kepada pasien. Buku ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
serta ketrampilan para petugas yang terlibat dalam pelayanan transfusi darah.
Selain itu, buku ini diharapkan dapat menciptakan persepsi yang sama baik antar
petugas teknis, dokter laboratorium, para klinisi maupun pihak manajemen yang
terlibat dalam pelayanan transfusi darah sehingga pada akhirnya pasien akan
mendapatkan manfaat transfusi secara maksimal dan risiko seminimal mungkin.